AKU BERSYUKUR MASA MUDAKU DULU KUHABISKAN DENGAN BEKERJA DI LAPANGAN

Jumat siang kemarin aku bertemu dengan temanku di sebuah café yang rimbun pepohonan. Seperti biasa kami ngobrol ngalor ngidul, terutama saat itu kami memang sudah cukup lama tidak bertemu.

Salah satu tema obrolan kami adalah mengenang masa-masa kami dulu masih bekerja satu kantor dan banyak menghabiskan waktu bersama di lapangan untuk menjalankan program. Temanku ini memang salah satu yang paling banyak menghabiskan waktu bersamaku di lapangan (walaupun tidak selalu). Dia adalah community organizer dan aku fasilitator dalam isu pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Sambil bernostalgia, kami pun terheran-heran, kenapa dulu kami berani betul ya, yang kalau sekarang disuruh mengulang lagi, kayaknya kami tidak bakal berani. Kami sering pulang tengah malam mengendarai motor melewati jalanan yang sepi, dan bahkan kebonan atau hutan kecil, sehabis menyelenggarakan diskusi di komunitas. Perjalanan dari komunitas hingga rumah kami sekitar 1 jam hingga 1,5 jam di mana sebelum memasuki jalan raya antar-kota, kami harus melewati jalan sepi, kebun, atau hutan.

Aku masih ingat naik motor sendirian sehabis mengisi diskusi kelas ayah melewati kebun-kebun yang sepi jam setengah 12 malam sebelum memasuki jalan raya. Biasanya yang aku pikirkan saat itu hanya, niatku baik, niatku baik, niatku baik, pasti tidak akan terjadi apa-apa, pasti tidak akan terjadi apa-apa. Dan tentu saja fokus melihat ke depan saja, tidak usah tengok kanan-kiri, takut melihat sesuatu yang tidak diinginkan kan, hehehe.

Kalau sudah memasuki jalan raya antar-kota biasanya aku merasa sedikit lega, karena setidaknya sudah banyak kendaraan yang lalu lalang, walaupun tetap seram. Aku paling senang kalau melewati Indomart/Alfamart karena mereka biasanya buka 24 jam dan lampunya terang sekali, jadi membuatku merasa lebih aman, beneran deh, walaupun ngga pernah mampir, hahaha.

Sering juga aku, walaupun ngga sendiri tapi boncengan dengan teman perempuan, tengah malam begitu, melewati hutan antara daerah Imogiri – Panggang yang gelap gulita dikelilingi pohon-pohon besar (namanya juga hutan ya) dan suara daun-daun tertiup angin yang sangat khas film-film horor itu, hahaha. Biasanya hanya ada motor kami sendiri, jarang papasan atau menyalip/disalip kendaraan lain, dan kalau itu terjadi rasanya senang sekali, karena merasa oh kami tidak sendiri.

Pernah juga boncengan dengan temanku, tidak melewati hutan sih, tapi melewati jalanan sepi yang panjang yang menghubungkan Kulon Progo – Bantul, yang kanan kirinya sawah/kebonan/kolam tanpa ada rumah-rumah atau toko atau bangunan apapun dan lampu jalan minim yang kadang pada mati lampunya, gelap dan panjang sekali jalanannya, walaupun jalanannya lurus dan halus beraspal. Tidak terbayang perasaan leganya ketika setengah jam berlalu dan kami sampai jembatan yang artinya kami sudah sampai di jalan raya yang ramai.

Kami tahu sih di kedua jalur itu, hutan maupun jalan panjang itu, seringkali ada berita terjadi kejahatan atau peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakkan, tapi kalau pas ketika harus melewatinya sih, sumpah kami lupa aja gitu untuk sementara tentang reputasi jalan-jalan yang hendak kami lalui, ingatnya ya kalau sudah sampai rumah aja, ih kok tadi aku berani sih lewat situ, dan besoknya tentu saja diulangi lagi, hahaha.

Yang kami takutkan biasanya adalah ban bocor di tengah jalan di malam hari. Aku sampai tidak berani memikirkannya, karena takut kalau dipikirkan nanti benar-benar terjadi. Tapi ya tentu saja itu pernah kami alami. Aku pernah mengalaminya jam 12 malam gerimis sehabis mengisi diskusi kelas ayah di salah satu desa yang kalau malam hari sudah sepi sekali. Untungnya saat itu kami bertiga dan masing-masing membawa motor sendiri. Akhirnya motor yang kebanan kami tinggal saja di balai desa dan aku membonceng temanku. Besok siangnya baru kami ambil dan kami cari tempat tambal ban.

Temanku yang Community Organizer itu jauh lebih pemberani dari aku. Dia sendirian pulang jam 1 malam melewati jalur hutan yang kuceritakan di atas, eh kebanan dong. Akhirnya motor pun dia tuntun keluar dari hutan sampai bertemu rumah pertama dan dia pun mengetuk pintu rumah itu, minta tolong kepada sang pemilik rumah. Untung dibukakan pintu ya dan diberikan pertolongan.

Kalau kami ingat-ingat sekarang hal-hal itu rasanya mustahil berani kami lakukan mengingat kami yang penakut dan latar belakang kami tinggal dan dibesarkan di kota. Cuman ya itu kami melakukannya bertahun-tahun, mungkin hampir 10 tahun. Padahal sejak dulu (dan ternyata temanku juga), kami itu tidak terbiasa keluar malam-malam sehingga ada perasaan takut dengan yang namanya malam, tapi kami dealing dengan hal itu.

Belum lagi aku dan teman-temanku itu penakut banget dengan yang kaitannya dengan hal-hal horor, nonton film horor saja sampai sekarang aku tidak pernah berani, mau dibayar juga. Tapi unbelievably kami dealing dengan hal itu selama 10 tahun kami bekerja di lapangan, kok bisa ya.

Temanku si community organizer itu pernah memiliki tempat tinggal di desa dampingan, sempat pindah kontrakan 2 kali, dan sumpah gaess, dua-duanya kalau dipikir lagi sekarang itu rumahnya seram sekali. Bahkan salah satu rumah kontrakannya itu, ada satu ruangan yang selalu tertutup dan sama sekali tidak boleh dibuka, dan kamar mandinya itu ada di luar rumah, jadi kalau mau pipis di malam hari ya harus keluar rumah dulu. Sekitar rumah ada beberapa rumah lain tapi jaraknya tidak terlalu dekat plus rumah di desa kan halamannya besar-besar ya dan banyak pohon-pohon besar.

Kadang kalau memang tidak memungkinkan untuk pulang selesai kegiatan aku menginap di kontrakan temanku itu, tidur hanya berdua saja, menggelar kasur tipis di ruang tengah di depan ruangan yang tidak boleh dibuka itu, hiiiii. Temanku ini lebih hebat lagi, dia bahkan sering tidur sendirian di rumah itu, luar biasa. Pernah waktu itu kami bertiga, dengan teman kami yang lain. Sialnya teman kami itu bisa melihat hal-hal seperti itu.

Bodohnya pada suatu malam, kami masih sempat mengobrol sebelum tidur. Teman kami itu cerita bahwa dia melihat makhluk yang dia tidak mau menyebutkan namanya karena katanya kalau disebutkan namanya nanti makhluk itu muncul. Maka ketika aku bertanya, kamu lihat apaan sih, dia bilang sugus (menyebut merk permen), aku langsung tahu apa maksudnya. Eh temanku yang satu lagi malah dengan polosnya bilang, “sugus apaan sih, sugus apaan sih? P*cong?” Oh nooo, kami langsung bertiga ketakutan. Tapi ya survive-survive aja sampai pagi, hahaha.

Pernah juga di sebuah desa ada satu rumah besar yang terkenal sangat angker. Bahkan warga desa situ tidak ada yang berani memasuki rumah itu atau bahkan kalau malam hari tidak ada yang berani lewat depan rumah itu. Kami dong malah bikin acara pelatihan menginap di rumah itu seminggu, dengan alasan yang sangat sederhana, rumah itu boleh dipakai gratis tanpa harus membayar sewa tempat, kalau dipikir sekarang, ya tentu saja, hahaha.

Untung kalau acara pelatihan biasanya kami agak ramean, sekitar 5 sampai 10 orang, sehingga ya tidur di rumah hantu itu jadi tidak terlalu menakutkan. Walaupun hampir semua dari kami pernah mengalami interaksi dengan penghuni tidak kelihatan di rumah itu, dari mulai yang ringan sampai yang ekstrim. Termasuk aku yang sebenarnya tidak sensitif masalah seperti itu pun berinteraksi juga. Dari mulai lampu yang nyala-hidup-nyala hidup sendiri, dengan mata kepala sendiri melihat pintu kamar bisa terbuka dan tertutup sendiri berkali-kali, suara barang-barang yang dijatuhkan, sampai kalau teman-temanku yang lain sih bahkan benar-benar berinteraksi dengan mendengar dan melihat wujudnya, hiiiii.

Tapi percaya engga, aku sampai 3 kali lho menyelanggarakan pelatihan di rumah itu, walaupun horor sekali. Sekali pelatihan antara 5 sampai 7 hari. Warga sekitar sampai heran kok kami bisa berani-beraninya tinggal di rumah itu. Ya alasan kami sederhana saja, rumah itu besar, luas, dan bisa dipakai gratis, hahaha. Aku lho yang padahal kalau di bioskop ada iklan film horor aja langsung tutup mata, hahaha.

Dan masih banyak lagi pengalaman luar biasa di lapangan yang kami rasakan. Tapi aku dan temanku itu sama-sama sepakat 100 % bahwa itu adalah pengalaman yang sangat berharga, sangat mahal, yang membentuk banyak hal dalam diri kami, baik secara profesional maupun secara personal. Semoga saja tidak hanya diri kami yang mendapatkan manfaat, tapi juga orang-orang yang kami dampingi, kelompok ayah, kelompok ibu, kelompok remaja laki-laki, kelompok remaja perempuan.

Semua hal yang aku ceritakan di atas itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan manfaat yang kami dapatkan dari kerja-kerja kami di lapangan. Sebuah proses dan pengalaman yang menurut kami tidak bisa digantikan oleh apapun, bahkan oleh sekolah mahal di kampus elit di luar negeri sekalipun.

Fitri Indra Harjanti

Fitri Indra Harjanti
Bagikan:

Fitri Indra Harjanti

Seorang fasilitator, editor, penerjemah, dan penulis freelance yang tinggal di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Aktif menggeluti isu gender dan feminisme sejak 7 tahun yang lalu. Menghabiskan waktu luangnya dengan menonton film di bioskop, mendengarkan band Queen, dan berbicara dengan kucing-kucingnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *