Anakmu Bukanlah Milikmu, Mereka Memiliki Jiwa, Pemikiran, dan Cerita Mereka Sendiri
“Anakmu bukanlah milikmu, mereka adalah putra-putri sang Hidup, yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka lahir lewat engkau, tetapi bukan dari engkau,mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.” – Khalil Gibran
Kapan waktu terbaik untuk Anda, Bunda? Apakah saat hang out bersama teman-teman sambil ngopi di kedai kopi berjaringan internasional? Atau saat menikmati facial dan hair treatment di salon langganan? Atau saat jalan-jalan ke luar negeri sambil selfie di depan patung terkenal icon negara itu? Itu semua menyenangkan sih. Tapi bagiku, waktu terbaik adalah selepas Maghrib, sebelum Isya’. Pukul 18.00 – 20.00, saat di mana seluruh HP dimatikan, TV dimatikan, dan laptop juga dimatikan. Riuhnya suara Marion Jola bernyanyi lewat HP Mbak Uno, suara music game animal jam dan roblox di laptop yang dihadapi Kakak Hira, dan suara sekawan Upin Ipin di TV yang ditonton Adik Lilo berganti dengan celoteh riang mereka bertiga. Selepas sholat Maghrib, mobil-mobilan, lego, dan boneka barbie masuk ke keranjang mainan, berganti dengan buku-buku PR, cat air dan spidol, LKS, dan majalah taman kanak-kanak. Rumah kami berubah dari taman bermain menjadi tempat les-lesan. Saya dan suami percaya, bahwa anak-anak harus selalu berada di dekat ayah dan bundanya, untuk membangun kelekatan (bonding), terutama pada masa golden age. Seluruh pengasuhan, baik itu pendidikan karakter maupun pendidikan kognitif merupakan tanggung jawab kami. Sehingga, saat belajar bersama itu, aku sangat menikmati saat-saat aku berinteraksi dengan mereka.
Tak terkecuali dengan anak pertamaku, Mbak Uno. Awal-awal masuk sekolah dasar, kami tidak terlalu khawatir pada perkembangan pendidikannya. Tapi, makin lama, Mbak Uno semakin tertinggal dari teman-temannya. Setiap akhir semester, dia selalu jadi yang terakhir di kelas. Tak ayal hal ini membuatku gusar. Aku takut dia tidak naik kelas. Aku sebenarnya malu. Malu pada diriku sendiri dan orang lain, mengapa aku tidak seberhasil orangtua lain dalam mendidiknya. Maka acara belajar setiap habis Maghrib menjadi ajang pembantaian untuknya. Aku menjadi sangat keras, tidak melihat seberapa besar usahanya menghitung dan menghafal. Aku selalu marah-marah saat dia mulai malas belajar. Pernah suatu hari, saat dia tak lagi punya selera belajar, dan aku memaksanya untuk belajar, aku menuliskan perkalian 4×5 dengan tulisan besar-besar di bukunya, saking kuatnya tekanan pensil, kertasnya sampai sobek. Mbak Uno menangis sesenggukan melihat aku marah, tapi, air mataku juga berlinang. Kami menangis bersama.
Selentingan yang sering kudengar, “bundanya sibuk sih ya, jadi anaknya gak keurus”, “Mbak Uno kurang perhatian,” dan sebagainya. Aku sering menyalahkan diri sendiri, mengapa anakku yang terakhir, mengapa? Padahal aku sudah berusaha mengajarinya tiap malam, tapi tidak ada hasilnya, 0 besar!
Suatu hari, aku dipanggil oleh kepala sekolahnya Mbak Uno. Ini sudah kelas 5, sebentar lagi ujian nasional, tapi Mbak Uno tidak juga menunjukkan kemajuan yang pesat dalam belajar. Jawabannya selalu ngawur-ngawur dan asal nulis saja. Sekolah tentu saja tidak ingin anak didiknya gagal dalam ujian. Mereka punya akreditasi A, dan seharusnya semua murid lulus 100%. Akhirnya Mbak Uno diminta untuk les. Aku pun mengiyakan. Aku pikir, meskipun aku dan ayahnya punya pendidikan tinggi, seorang dosen, dan tidak pernah punya masalah besar dalam belajar, tapi jika aku bukan orang yang bisa memfasilitasinya belajar, tak akan membuahkan banyak hasil. Mbak Uno anak penurut, dia mau saja kusuruh les tambahan. Meskipun sekolahnya pulangnya sampai sore, dan masih harus ditambah les sampai malam. Aku lihat dia capek sih, tapi sepertinya dia enjoy.
Saat aku bicara dari hati ke hati, sambil menyisir rambutnya, aku tanyakan, “Nak, sampai kapan kamu mau begini, nilaimu ini lho, gak ada peningkatan, kamu gak ingin jadi juara seperti si A atau si B apa?”
“Kata Bunda kan yang penting sekolah enjoy.”
“Memangnya, si A dan si B itu gak enjoy sekolahnya?”
“Ya gak tahu juga Bun, udahlah, jangan kepoin hidup orang.”
“Hmmm…”
Betul juga nih kata Mbak Uno. Tak perlu membandingkan anakku sendiri dengan anak orang lain, toh dia sangat enjoy dengan dirinya sendiri, tidak ikut-ikutan trend, dan percaya dirinya tinggi, meskipun dia selalu menjadi peringkat penutup di kelas.
Hari-hari menjelang ujian nasional tiba, dan Mbak Uno disarankan untuk mengikuti tes IQ. Hasilnya sungguh mencengangkan, IQ-nya di bawah rata-rata anak pada umumnya. Mbak Uno didiagnosis sebagai slow learner. Dia memang bukan anak tuna grahita, tapi dia lambat belajar. Dia perlu mengulang-ulang semua pengetahuan yang diberikan, agar tidak mudah lupa. Aku sebenarnya shock sih, aku dan suami kan menurut orang-orang bibit unggul (*agak sombong sedikit gak apa-apa lah ya). Kami ini lulusan terbaik di kampus kami dulu, kami ini selalu juara kelas saat SD, SMP, SMK. Lah, kok anaknya slow learner. Lalu aku menelepon ibuku (*curhat ceritanya). Lalu, ibuku bilang:
“Nak, Mbak Uno memang lamban belajar, itu jadi ujian tersendiri bagimu. Tapi, tidak bisakah kamu melihat, Mbak Uno itu sangat perhatian dan penurut. Jika datang tamu bertandang ke rumah, dialah yang cepat-cepat membawakan camilan dan minum. Dia mau repot-repot membantu membungkuskan jajanan anak tetangga yang berulang tahun. Jika saatnya kamu belanja bulanan di mall, dan suamimu tidak ada, sedangkan kamu sibuk menggendong dan menggandeng Hira dan Lilo, dialah yang mendorong troli belanja. Bahkan dia yang selalu sibuk mengamati, barang apa yang sudah dibawa dan yang tertinggal saat kita beranjak dari meja makan restoran. Dia penurut, dia tidak pernah rewel saat ditinggal kamu pergi. Dia bisa memasak makanannya sendiri, bahkan di usianya yang masih 10 tahun. Ingat, bahwa satu-satunya kesuksesan bukan hanya karena pendidikannya, tapi juga moralnya.”
Sampai saat itu aku tersadar sepenuhnya, dia memang anakku, tapi dia bukanlah aku. Anak-anak adalah titipan Tuhan. Dan berbahagialah para orangtua yang dititipi anak, artinya mereka dipercaya oleh-Nya. Setiap anak memiliki potensi serta kelebihan dan kelemahannya masing-masing, yang kadang tidak dapat dipahami dengan mudah oleh ayah-ibunya. Sampai saat ini aku termasuk orangtua yang membebaskan pikiran anak-anakku. Aku membiarkan mereka dengan jalannya masing-masing. Aku membiarkan rasa ingin tahunya berkembang secara “genuine”. Maka seluruh kemampuan belajarnya murni karena mereka sendiri yang mencari tahu. Seperti kata Khalil Gibran:
“Berikanlah mereka kasih sayangmu, namun jangan sodorkan pemikiranmu, sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri.
Patut kau berikan rumah bagi raganya, namun tidak bagi jiwanya, sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan, yang tiada dapat kau kunjungi, sekalipun dalam mimpimu.
Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,namun jangan membuat mereka menyerupaimu, sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur, ataupun tenggelam ke masa lampau.”
Anakku, kalian boleh menjadi apa saja yang kalian mau. Tapi ingatlah pada Tuhan, dan jadilah orang bermanfaat. Akulah si busur panah, yang akan melesatkan kalian, anak-anak panah, ke tujuan setepat mungkin. Tapi ayah dan bunda butuh banyak belajar dan berlatih, agar dapat memanah dengan baik. Bantulah aku menjadi orangtua yang amanah, yang kelak bisa menuntun kalian ke jalan yang diridhoi. Aku mencintai kalian, setinggi gunung dan seluas lautan.
*Tulisan ini untuk anakku Uno, yang hari ini berulang tahun ke-13.
12 Januari 2006 – 12 Januari 2019
Tenia Wahyuningrum
- Sepenggal Kisah Kereta Senja - Januari 31, 2020
- Toxic Positivity: Kalimat Positif yang Kadang Bikin Sensitif - April 22, 2019
- Anakmu Bukanlah Milikmu, Mereka Memiliki Jiwa, Pemikiran, dan Cerita Mereka Sendiri - Januari 12, 2019
?