…Because I am the First Example to Her
Sebuah artikel yang di-share teman saya pagi ini tentang seorang ibu yang berhasil menyelesaikan kuliahnya membuat saya sedikit meneteskan air mata. Ini mengingatkan saya pada masa ketika saya kuliah master beberapa waktu yang lalu. Karena satu dan beberapa alasan, saya meninggalkan Mbak Qori, anak pertama saya, yang saat itu masih berusia 9 bulan, menyeberangi lautan ribuan kilometer jauhnya. Tentunya hal ini tidak memungkinkan saya untuk bisa pulang sebulan sekali, baik dari segi waktu maupun biaya. Dan tentunya hal ini tidak mudah dan tidak seindah cerita film atau sinetron. Banyak momen yang saya lewatkan bersama Mbak Qori. Saya melewatkan ulang tahun pertamanya, langkah kaki pertamanya, kata pertamanya, gigi pertamanya, naik kuda pertamanya, dan entah hal pertama apa lagi baginya yang saya lewatkan. Apakah saya menyesal? Well, ini adalah jenis pertanyaan yang tidak ingin saya jawab, sama seperti ketika orang menanyakan berapa tabungan yang saya miliki atau kapan punya anak lagi.
Banyak komentar dan pertanyaan yang saya terima, mulai dari yang biasa-biasa saja, sampai sedikit menggurui, bersimpati, memaklumi, bahkan juga sinis. Mulai dari “kok bisa”, “kok berani”, “kok tega”, “bagaimana rasanya”, “lalu bagaimana”, “kan kamu ibunya”, “bagaimana ASI-nya”, “lalu siapa yang mengasuhnya” dan lain sebagainya. Menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya sangat sulit dijawab dan kalau bisa tidak usah dijawab. Saya selalu berusaha menjawab sesantai mungkin, setidak sentimentil mungkin, setanpa perasaan mungkin. Jawaban yang paling sering sih “iya, saya kan mama tega” – itu kalau saya sedang bertanduk alias sedang tidak ingin ramah. Kalau sedang sedikit ramah dan ingin sok bijaksana, jawabannya akan “yah, dinikmati saja, dijalani, kan hidup memang seperti ini, banyak kejutan”. Kalau sedang ketus, saya akan menjawab “kan enak, bisa jalan-jalan, nggak usah mikir anak”. Padahal, semua orang juga tahu, bagi ibu manapun di dunia, sulit rasanya meninggalkan anak mereka, bahkan hanya untuk beberapa jam saja, tak terkecuali saya.
Sudah banyak sekali malam-malam yang saya lewati sambil menangis bombay saking inginnya bertemu anak. Sudah sering saya menahan perasaan untuk tidak menangis dan iri luar biasa setiap kali melihat anak-anak yang bermain ceria di jalanan, tidur di kereta, atau sedang melakukan apapun – bersama orangtua mereka. Sudah terlalu sering saya tenggelam di bagian anak-anak saat sedang belanja, memandangi baju-baju lucu atau mainan-mainan, tanpa tahu harus membelinya atau tidak. Sudah terlalu sering juga saya melewatkan hari dengan amat sangat mengantuk hanya karena menunggu waktu pagi Indonesia, supaya bisa melihat anak saya bangun tidur dan menungguinya sarapan dari layar laptop. Sudah terlalu sering juga hati saya serasa hancur berkeping-keping mendengar anak saya berkata, “Buk, jangan di dalam laptop terus, ayo keluar main-main” – dan melihatnya menengok ke balik laptop untuk menemukan ibunya, untuk kemudian melihatnya kecewa, atau marah, atau menangis, atau – lebih parah lagi, tidak peduli.
Lebih dari sekali juga saya harus bekerja ekstra keras menahan tangis saat meninggalkannya di bandara, mendengar rengekannya untuk ikut pergi bersama ibu yang saya tahu tidak bisa saya penuhi – dan saya tetap harus berangkat meninggalkan dia dan terpaksa harus melepaskan genggaman tangannya dengan sedikit paksaan dan bujukan sambil tetap memasang senyum bahagia. Tidak hanya sekali juga saya keluar rumah dan berbekal HP dan sambungan internet, mencari dan menunjukkan semua hal yang pernah saya ceritakan ke dia: kucing ibu, angsa di sungai, bebek menyeberang jalan, kereta api, salju, pohon apel, perpustakaan, kolam, kuda, sapi, dan lain sebagainya (sampai-sampai anak saya mengingatnya sebagai “waktu ibuk masih di dalam HP sama laptop kita pernah nonton ini itu”). Saat itu, apapun yang membuat saya merasa patah hati, saya selalu memaksa akal sehat dan logika saya untuk tidak mengasihani diri terlalu berlebihan, tidak menanggapinya dengan terlalu sentimentil dan melankolis yang kelamaan, tidak pula menjadi alasan pembenar untuk melupakan tujuan utama saya meninggalkan dia. Saya tetap menikmati hidup, saya makan enak, saya jalan-jalan ke tempat-tempat yang saya ingin kunjungi, saya membaca buku, saya mencoba hal baru, saya menonton film, saya berteman, saya melakukan hal-hal yang saya sukai. Setiap kali ada kesempatan berbicara dengannya, entah lewat telepon atau panggilan video, saya selalu menceritakan hal-hal yang menyenangkan. Saya tertawa untuk apapun yang dia lakukan, bahkan setiap kali melihat dia menangis di layar laptop karena kesal atau karena keinginannya tidak dituruti, saya tetap tertawa dan menganggapnya sebagai hal lucu dan kita harus tetap gembira (walaupun bisa dibayangkan seperti apa perasaan saya yang sebenarnya). Pokoknya, prinsip saya waktu itu, dinikmati apa yang ada di depan mata, dan meminimalisir sesedikit mungkin adegan drama dalam kehidupan nyata!
Banyak juga orang yang memuji keberanian saya meninggalkan anak dan keluarga. Padahal sebenarnya, I am not that brave, I did that because I have to be brave. Pertama kali memutuskan untuk meninggalkan Mbak Qori di usia yang bahkan belum waktunya disapih dari ASI, saya juga galau setengah mati. Naluri keibuan saya mengatakan jangan pergi dan tunaikanlah kewajibanmu sebagai ibu dan penuhilah hak-hak anakmu. Tapi saya punya orang-orang hebat dan berani di samping saya: kedua orangtua dan suami saya. Saya masih ingat, sebelum saya memutuskan untuk pergi, saya dan suami berdebat mengenai hak anak dan kewajiban ibu. Saya berpendapat bahwa seorang anak memiliki hak penuh untuk mendapatkan ASI eksklusif selama 2 tahun, untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang dari ibu sepenuhnya, dan seorang ibu memiliki kewajiban untuk memenuhinya sebagai bentuk amanah dari Tuhan.
Hal itu yang terus menjejali pikiran dan hati nurani saya. Tapi, ada satu kalimat panjang suami saya yang membuat saya berpikir sangat lama selama berhari-hari, bahwa: “Benar seorang anak berhak mendapatkan itu, dan seorang ibu wajib memenuhinya. Tapi seorang anak berhak mendapatkan contoh dari ibunya tentang keberanian, tekad yang kuat, kerja keras, pengabdian, kemandirian, kecintaan kepada sesama makhluk Tuhan, peran seorang manusia sebagai khalifah di muka bumi, memberikan manfaat lebih bagi sesama, semangat untuk belajar dan bereksplorasi, mencari hal baru, bertemu orang-orang baru, melihat dengan sudut pandang yang baru, dan segala hal lain yang mungkin – lebih penting dari ‘sekadar’ kehadiran ibu di sisi seorang anak selama 24 jam nonstop. You are the first example to her, and this is what I want you to teach her, even in her early stage of life”. Apa yang dia katakan sebenarnya sangat-sangat melukai ego saya sebagai seorang ibu, apalagi ketika dia menambahkan dengan kalimat, “she will be OK without her mom”. Naluri saya sebagai seorang ibu, sosok yang saya anggap paling penting bagi seorang anak, serasa dicabik-cabik. Apalagi ketika bapak dan ibu saya secara tidak langsung juga mengiyakan kalimat suami saya dengan memberikan contoh-contoh survivor kids tanpa kehadiran penuh seorang ibu all the time, yang membuat saya semakin merasa sedih (yang salah satunya adalah karena saya dibesarkan oleh seorang ibu yang bekerja). Apalagi ketika suami saya melontarkan kalimat yang membuat saya semakin meluap-luap, “sebenarnya kamu tidak mau karena anakmu atau karena kamu tidak berani mengatasi perasaanmu?”
Saya tidak sedang menuliskan pembelaan untuk melegitimasi ketidakhadiran seorang ibu dalam fase kehidupan anaknya. Saya juga tidak sedang memberikan penilaian tentang mana yang benar atau mana yang lebih baik. Yang ada dalam keyakinan saya saat ini adalah, Tuhan memberikan masing-masing dari kita lebih dari satu peran, yang seringkali tidak dapat berjalan seiring. Tentu saja setiap orang berhak memilih prioritas masing-masing, dan tidak ada yang salah ketika prioritas setiap orang –dan setiap ibu— berbeda-beda. Hanya saja, apapun prioritas itu, kita harus konsisten dan konsekuen menanggung segala risikonya. Tidaklah adil ketika kita mengharapkan anak kita menjadi sesuatu yang kita sendiri tidak bisa memberikan contoh baginya, atau setidaknya mengatakan bahwa paling tidak kita pernah mempertimbangkannya. Karena kita adalah contoh hidup. Karena kita punya tanggung jawab. Sebagai ibu. Sebagai istri. Sebagai anak. Sebagai manusia. Sebagai umat Tuhan. Sebagai pembawa kebaikan.
Sampai detik ini, sebenarnya, saya masih sering bertanya-tanya, apakah yang saya lakukan ini–meninggalkan anak saya—adalah bagian dari ego mengejar sesuatu yang memang sudah saya inginkan sejak kecil, ataukah karena pemenuhan kebutuhan pembuktian diri bahwa saya bisa, ataukah demi alasan lain yang lebih mulia – demi anak saya? I always try to believe bahwa apa yang sudah saya pilih ini adalah karen—seperti kata artikel yang saya baca pagi ini—she needs to see me doing this. Dia butuh melihat saya melakukan ini, supaya kelak dia menjadi perempuan yang berani mengambil keputusan, berani mandiri, berani menentukan apa yang dia inginkan dan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. I am not strong and I am not brave at all, but she needs to see me as a brave and strong person, because I am her mother. Karena saya ibunya. And I am the first example to her. Apapun peran kita, apapun yang kita lakukan, she needs to see that I am doing my best.
Saya pikir itulah yang akan dilakukan oleh setiap ibu, entah mereka ada di sisi anak-anak mereka ataupun tidak. Karena kitalah yang akan menjadi sumber pembelajaran hidup untuk membentuk karakternya. Karena ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dan bukankah kita selalu berdoa agar anak-anak kita kelak menjadi seorang manusia yang berguna bagi nusa, bangsa, agama, dan sesamanya?
Karena seorang ibu adalah pejuang sejati, dan setiap anak berhak percaya bahwa ibunya adalah pahlawan yang sempurna.
Sukmo Pinuji
- KEDAI KOPI LIMA - Maret 28, 2022
- WE DECIDE TO GROW AND BEING OLD TOGETHER - Maret 21, 2022
- Be Mindful and You Will See the Beauty of the World More! - Februari 7, 2020