Berencana Menikah? Baca Ini Dulu!
Menikah adalah keputusan penting dalam perjalanan hidup saya. Karenanya sejak awal sayalah yang memilih ingin menikah dengan siapa, dengan cara apa, dan kehidupan pernikahan yang seperti apa, serta selanjutnya berdoa kepada Tuhan supaya keinginan-keinginan tersebut dapat terwujud. Pada akhirnya, so far semua ekspektasi, harapan, dan doa saya terwujud, tapi, tunggu dulu saudara-saudara setanah air! Ini tidak semudah yang sering terbayangkan, atau tidak semudah cerita cinta FTV yang happy ending dalam dua jam saja. Jalannya terjal dan berliku, penuh bebatuan layaknya jalan yang belum diaspal.
Saya memang menjadikan pacaran menjadi salah satu pintu masuk awal mengenal pasangan. Mungkin soal pacaran ini tidak harus ya, karena cara dan kepercayaan masing-masing orang akan baik-buruknya sebuah cara itu berbeda-beda. Tapi saya masih mempercayai bahwa ini adalah cara yang efektif. Bagi teman-teman yang punya pengalaman berpacaran tentu sudah paham bagaimana lika-liku, naik turun, patah hati, kecocokan, dan ketidakcocokan. Saya melihat semua yang terjadi selama pacaran sebagai indikasi dan penanda awal bagaimana kemungkinan-kemungkinan hubungan kami di kemudian hari. Berkali-kali gagal tentu iya, dan pada akhirnya memilih suami saya sebagai yang terakhir (insya Allah). Lagi-lagi tidak mudah dan penuh tantangan. Namun dari berbagai ketidakcocokan dan tantangannya itu, saya selalu mengembalikan hubungan dengan pasangan saya dengan pertanyaan, apakah hubungan dengan pasangan saya membuat saya lebih baik? Tidak hanya lebih baik dalam artian sifat, sikap, dan spiritual, namun juga lebih baik dalam perspektif berpikir, lebih baik dalam berkarya, dan lebih baik dalam menjalani kehidupan secara keseluruhan. Dan saya merasa suami saya adalah orang yang demikian, meskipun tentu dia tidak sempurna, dia bukan Tuhan! Kompromi, negosiasi, dan komunikasi yang efektif harus selalu dijaga. Dengan cara yang demikian, harapannya pasangan kita juga akan lebih baik dalam segala hal selama bersama kita. Tumbuh bersama selalu lebih baik, right?
Setelah memilih pasangan, terkadang kita masih terbentur banyak hal. Orangtua, teman kita, bahkan keluarga besar yang mungkin tidak selalu langsung menyetujui hubungan kita dengan pasangan. Gimana tuh? Cuekin, jangan? Ya tentu jangan dong! Mereka pasti punya alasan baik di balik ketidaksetujuannya. Trus gimana? Ya ngobrol dong, jangan malah kawin lari, atau memutuskan hamil duluan misalnya, supaya mau nggak mau mereka semua setuju. Ini tidak menyelesaikan masalah gaessss, mungkin mereka akan setuju, SEKARANG! dan TERPAKSA! Tapi dalam hati masing-masing masih ada kecurigaan, ketidaksukaan yang jika tidak dikonfirmasi akan dipendam dan akan membayang-bayangi kehidupan rumah tangga kita. Dikhawatirkan, ketika nantinya pasangan melakukan satu hal saja yang memantik ketidaksukaan orangtua kita, maka ujung permasalahannya menjadi semakin besar karena masih ada sisa masalah sebelumnya yang belum diselesaikan. Nanti lari dari masalah lagi, balik lagi, gitu lagi, mau terus begitu? Kalau saya mah ogah. Makanya sejak awal harus dibicarakan dengan orang terdekat terutama orangtua. Jika mereka tidak setuju, harus dianalisis alasan ketidaksetujuannya. Jika alasan ketidaksetujuannya logis dan dalam hati kita mengiyakan, sudah seharusnya kita merefleksikan kembali selama ini hubungan kita dengan doi bagaimana? Tapi kalau alasan ketidaksetujuannya tidak logis atau masih dapat kita jawab dengan solusi logis, berarti harus didiskusikan tuh. Tapi nggak semudah itu kakak? Ya emang nggak mudah!
Saya mengalaminya, jadi ini bukan kate-kate sodara-sodara. Butuh proses yang panjang untuk meyakinkan orang-orang terdekat kita bahwa ketidaksukaan atau pemikiran negatifnya itu mungkin saja benar, namun bukankah setiap orang memiliki sisi positif dan negatif. Jadi, apakah diskusinya harus selalu menonjolkan hal-hal baik pasangan? Nggak dong! Kita juga harus mengkonfirmasi kecurigaan orang terdekat kita jika itu memang benar, tapi jangan lupa seimbangkan juga dengan hal-hal baik yang selama ini kita alami bersama si doi. Sehingga orang terdekat kita bisa memahami baik buruk si doi dengan lebih fair. Kita jangan menyembunyikannya terutama untuk hal-hal yang krusial. Kenapa? Karena orang-orang terdekat kitalah juga yang nantinya akan menjadi support system kita jika terjadi apa-apa, maka biarlah mereka paham situasi dan kondisi kita dan pasangan yang sebenarnya. Tapi ya nggak semua-mua-mua-muanya diceritain ya gaesss, simpanlah hal-hal yang privat untuk diri kita sendiri dan pasangan.
Nah, kalau udah disetujui, Alhamdulillah dong. Tinggal soal menikahnya itu sendiri. Kalau saya pribadi sih tidak memaksakan diri untuk menikah secara gemerlap gemintang bermandikan cahaya lampu yang terang-benderang. Pertama, karena cita-cita saya sejak kecil adalah menikah secara sederhana; akad dan mengundang keluarga besar, dan kedua karena duit saya pas-pasan. Tapi perlu dicatat, kalau teman-teman atau orangtua teman-teman mampu, ya sah-sah saja menikah dengan bentuk dan konsep seperti apapun, atau kalau memang sudah memimpikan sejak bayi mau menikah begini begitu, ya nggak apa-apa, tinggal usaha nabung yang banyak. Semua sah, asal udah akad ya! Hahaha, dan asal sudah memahami konsekuensi masing-masing bentuk dan konsep pernikahan. Waktu itu saya sendiri memikirkan tabungan saya dan pasangan akan kami gunakan untuk modal awal kontrak rumah, beli perabot, dan lain-lain, yang tidak murah ternyata, hahaha. Sehingga kami sepakat, akad ditemani keluarga besar dan tetangga dekat sudah cukup.
Nah sudah sah, menikah sudah dilewati, lalu apalagi? Membina rumah tangga pastinya. Oh ya, sejak pacaran kita harus sudah ngobrolin hal-hal yang mungkin harus dikompromikan. Misalnya, setelah menikah bisa nggak kita kerja yang begini, begitu, punya cita-cita ini dan itu. Nah karena 2 kepala nih, nggak mungkin ideal sesuai dengan mau kita saja, pasti ada hal-hal yang harus dikompromikan. Proses kompromi ini yang penting untuk dirasa-rasakan, asyik nggak? Apa mau menang sendiri semua? Engga dong! Kalau sudah asyik, insya Allah sudah siap menikah, hahaha. Proses obrolan soal kompromi inilah yang akan membantu perjalanan kita di masa depan (ceilah, nikah baru 2 tahun sudah sok ngomongin masa depan). Eitssss, jangan salah, kalau sudah susah berkompromi sejak awal, 2 tahun rasanya ampunnnn DJ. Namun kalau sudah dari awal lancar komunikasinya untuk berkompromi, wahhhh 2 tahun pengennya nambah-nambah terusss, ehhh, nambah apaan ini? Nambah terus tahunnya untuk berumah tangga dong.
Nggak ada rumah tangga yang lancar-lancar aja gaess, percayalah! Kata siapa awal-awal tahun menikah itu cuma enaknya doang? Bayar kontrakan tiap tahun, bayar listrik yang tambah mahal melulu, kaget sama kelakuan pasangan yang nggak pernah muncul selama pacaran. Belum lagi kalau sudah punya anak, harus mikirin anak. Begitu, jadi mau awal pernikahan sampai akhirnya dipisahkan oleh maut pasti ada tantangannya masing-masing, tinggal bagaimana kita dan pasangan menghadapi dan mencoba menyelesaikan tantangan-tantangan itu di berbagai levelnya. Bahkan belum menikah pun kita sudah punya banyak tantangan kan selama hidup? Jadi ya tantangan itu akan selalu ada di seluruh lini kehidupan manusia. Aku bilang tantangan ya, bukan masalah, biar lebih asyik buat diselesaikan gitu. Kalau masalah kan kayak jadi malas nyelesainnya, hahaha.
Begitu saja dulu kayaknya. Ini bukan tips and triks ya, bukan juga inspirasi. Yang penting, kalau ada hal baik silakan diambil hikmahnya, namun kalau ada yang buruk-buruk, tolong ditinggal saja. Have a nice day everyone!
Nia Agustina
- MEMIKIRKAN ULANG PERTANYAAN “KENAPA BELUM PUNYA ANAK?” - Maret 11, 2022
- Saya Iri Dengan Teman-Teman Perempuan Saya - Januari 16, 2019
- Berencana Menikah? Baca Ini Dulu! - Januari 4, 2019