Hidup Tanpa Gerundelan Itu Ada Caranya
Mana ada di dunia ini—selama masih hidup bersama orang lain—orang bisa menghindar dari yang namanya konflik. Mustahil! Konflik itu adalah niscaya dalam kehidupan manusia. Hal yang mestinya kita pahami adalah konflik akan hilang seiring dengan hilangnya kehidupan bermasyarakat itu sendiri. Atau dalam kata lain, selama kehidupan masyarakat itu masih ada, konflik juga pasti akan selalu ada.
Konflik itu sesederhana, seorang teman tertawa keras-keras di dekatmu yang menimbulkan perasaan tidak nyaman di hatimu. Kamu sebenarnya tidak setuju dengan perilaku tertawa keras-keras ini. Atau sesederhana, kamu bertanya, namun pertanyaanmu tidak direspon. Karena tidak direspon timbul perasaan tidak nyaman di hatimu. Seperti itulah konflik. Sayangnya, yang lumrah terjadi orang diam saja terhadap konflik-konflik tersebut. Yang sederhana-sederhana ini seringkali menjadikan seseorang gerundelan. Gerundelan muncul karena kita tidak membicarakan apa yang tengah terjadi serta dampak yang dirasakan dengan yang bersangkutan secara langsung.
Jika di satu sisi konflik adalah niscaya, di lain sisi, pola asuh yang diterapkan seringkali tidak berkorelasi positif dengan keniscayaan konflik dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Orang seringkali diajari untuk diam, memendam perasaan, dan menganggap tidak terjadi apa-apa ketika sebenarnya konflik tengah berlangsung. Anak-anak belajar dari orang yang lebih dewasa di sekelilingnya bagaimana bersikap dan bertindak ketika konflik terjadi. Acapkali ketika orang berkonflik, mereka hanya saling diam. Ketika berhadapan kembali mereka yang sebenarnya menyimpan konflik ini akan tetap bertegur sapa seperti biasa.
Bahwa konflik sering terjadi ya, namun sayangnya tidak pernah dibicarakan—apa yang sebenarnya terjadi, bagaimana perasaan masing-masing ketika konflik itu tengah berlangsung, kemudian bagaimana mencari penyelesaiannya bersama-sama. Termasuk apa yang membuat marah atau apa yang dipermasalahkan salah satu pihak atau kedua belah pihak yang jarang terungkap. Masih lebih baik kalau kemudian konflik ini disimpan untuk dirinya sendiri, yang seringkali terjadi masalahnya justru dibicarakan dengan orang di luar konflik itu sendiri. Sehingga kemudian yang muncul adalah asumsi-asumsi dan dugaan-dugaan, karena sebenarnya kita kan tidak pernah tahu apa yang ada di dalam pikiran dan perasaan orang yang berkonflik dengan kita. Termasuk apakah perilaku yang menyebabkan terjadinya konflik itu atas kesengajaan dan sepengetahuan yang bersangkutan atau tidak.
Dengan keniscayaan konflik dalam kehidupan manusia, maka akan bagus ketika orang terbiasa untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya. Sesuatu yang disetujui atau tidak disetujui bisa disampaikan. Sesuatu yang membuat senang atau menjadi keberatan bisa disampaikan. Sesuatu yang membuat bahagia atau membuat marah bisa disampaikan.
Jika dalam berinteraksi dengan orang lain—dalam keluarga maupun di luar keluarga—seseorang mampu untuk mengungkapkan perasaan dan pikirannya, gerundelan tidak akan ada lagi. Atas apapun peristiwa yang terjadi, seseorang bisa secara terbuka menyampaikan perasaan dan pikirannya.
“Aku sebenarnya marah, karena kamu menggunakan sisa oli mobilku tanpa minta persetujuanku,” misalnya begitu. Sepele, oli mobil, bahkan sisa. Tapi kita tidak pernah tahu bahwa dalam perencanaan kebutuhan bulanannya, oli mobilnya sudah diperhitungkan. Sehingga, kejadian tanpa persetujuan ini berpengaruh besar baginya. Ini tentang mengungkapkan rasa marah.
Atau permisalan yang lain, Anda adalah pemberi hutang, orang yang berhutang pada Anda belum mengembalikan hutang yang jumlahnya berarti bagi Anda. Pada saat itu Anda sedang butuh betul, lalu Anda mendengar orang yang memiliki hutang tersebut belanja-belanja. Aha, Anda tentu kesal luar biasa. Ya lebih baik langsung sampaikan pada yang bersangkutan bahwa Anda kesal luar biasa dengan perilakunya, namun jangan lupa untuk mengonfirmasi apa yang Anda dengar itu terlebih dahulu.
Rasa senang juga bagus untuk diungkapkan karena itu merupakan bentuk penghargaan terhadap orang yang membuat senang. Misalnya,”saya senang kamu membelikan saya jilbab warna hitam ini, sudah lama saya ingin jilbab warna hitam dan belum terbeli hingga hari ini.”
Sampai di sini saya berharap pembaca mendapatkan pengertian, sesungguhnya gerundelan itu muncul bukan disebabkan oleh orang lain, akan tetapi gerundelan muncul penyebabnya adalah diri kita sendiri. Yakni, muncul dari ketidakmampuan kita mengungkapkan perasaan dan pikiran. Ketidakmampuan ini bisa karena betul-betul tidak mampu, atau ketidakmampuan karena khawatir akan respon dari yang bersangkutan.
Lumrahnya orang hanya senang ketika mendengar yang baik-baik. Sementara keterbukaan tentang pikiran dan perasaan ini meniscayakan keduanya, baik hal yang terdengar baik maupun hal yang terdengar buruk. Oleh karena itu, kita juga harus siap dengan hal buruk yang mungkin akan kita dengar. Sayangnya, hal buruk ini tidak lazim disampaikan secara langsung dalam budaya kita. Itulah masalah besarnya!
Gerundelan juga muncul akibat dari cara yang salah dalam memperlakukan konflik, yaitu ketika konflik ini tidak ketahuan ujung pangkalnya. Lagi-lagi karena ketidakmampuan dalam mengungkapkan pikiran dan perasaan.
Ketika dirasa ada konflik, maka lebih baik jika konflik ini dihadapi, dikonfirmasi, dan diselesaikan. Bukan didiamkan, lalu dianggap berlalu seiring dengan waktu. Seandainya Anda tahu, konflik yang tidak terselesaikan ini tidak pernah akan berlalu seiring dengan waktu. Alih-alih, konflik yang tidak terselesaikan adalah bom waktu.
Anda tentu pernah mengalami, ada orang yang datang pada Anda dan bercerita tentang konflik yang tengah dihadapinya. Tentu saja yang diceritakannya tidak hanya konflik yang tengah terjadi pada saat itu, tetapi juga cerita-cerita terdahulu yang dibuka kembali. Apa-apa yang pernah dialami dengan yang berkonflik dengannya pun akan diungkit kembali. Jika masing-masing konflik yang pernah terjadi berdiri sendiri, tentu penilaiannya juga akan berdiri sendiri-sendiri. Tetapi begitu diceritakan kembali dalam satu waktu, dan jumlahnya banyak karena konflik yang terjadi berkali-kali sehingga tertumpuk, nilainya tentu akan jadi luar biasa. Cukup untuk memberi label bahwa orang yang berkonflik dengannya itu buruk, dan terlupakan sama sekali semua kebaikan-kebaikannya.
Bayangkan jika yang diceritai bukan hanya Anda seorang. Jadilah beberapa atau banyak orang punya persepsi yang sama seperti persepsi yang ada pada si pencerita, yang alhasil jadilah sebuah label. Kasihan dong ya si penyandang label. Padahal hal itu belum tentu benar, karena hanya berangkat dari asumsi-asumsi, dari menduga-duga saja. Kebayang kan, dari satu perilaku yang menyebabkan konflik, seseorang bisa dapat label sebagai orang yang buruk. Ketidakmampuan menyelesaikan konflik dapat membuat ledakan cerita buruk dari seseorang, yang bahkan mungkin terjadi tanpa disengaja oleh orang tersebut. Itu yang saya maksud dengan bom waktu!
Menurut hemat saya, dalam budaya yang cenderung diam demi harmoni, orang akan mendapat tantangan yang berat untuk bisa terbuka dengan pikiran dan perasaannya, karena kekhawatiran pihak lain akan terluka dengan hal buruk yang secara jujur disampaikannya. Ke depannya, semoga bisa menjadi kesadaran bersama bahwa hal yang terdengar buruk itu belum tentu tidak benar. Bisa saja itu berarti seseorang tengah diingatkan akan kedzoliman yang tidak sengaja terjadi atas perilakunya.
Asih Nuryanti
- Hidup Tanpa Gerundelan Itu Ada Caranya - Juli 4, 2019
- Pengalaman Butuh Diproses Agar Bisa Menjadi Guru Terbaik - Juni 27, 2019
- Simak Tulisan Ini: Pastikan Anda Bukan Penyebab Seseorang Tidak Pernah Bisa Mengambil Keputusan - Juni 24, 2019