KARIR LANCAR, ANAK PINTAR, SUAMI TAK TERLANTAR
Karir lancar, anak pintar, suami tak terlantar? Hahaha. Kasihan sekali, bahkan sampai dengan hari ini pun, mengurus rumah, memastikan segalanya berjalan dengan baik termasuk suami dan anak-anak masih dianggap sebagai hanya tugas seorang perempuan semata. Tugas istri. Tugas ibu. Seakan-akan itu adalah kodrat perempuan. Tapi tunggu, apakah yang dimaksud kodrat itu?
Kodrat, menurut KBBI, adalah hal yang berkaitan dengan kemampuan alami, atau hukum alam. Jadi, apakah mengurus rumah, anak, dan suami itu adalah kodrat? Menurut saya bukan. Kodrat perempuan adalah memiliki vagina, menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui, dan untuk tiga terakhir, itupun jika mereka memilih untuk mengalaminya.
Ada sebuah pandangan dan mungkin kesepakatan umum bahwa perempuan dikatakan sukses dan berhasil apabila dia mampu menjalankan perannya sebagai ibu, istri, dan juga sukses dalam pekerjaannya. Hal ini diperkuat dengan masih banyaknya artikel di majalah-majalah gaya hidup yang membahas mengenai “kiat menjadi Supermom”, atau tentang bagaimana menyeimbangkan kehidupan di luar dan di dalam rumah. Sadar tidak sih kalau media juga berperan besar dalam membentuk tuntutan masyarakat terhadap perempuan?
Menciptakan dunia yang ideal dan menyenangkan bagi para penganut patriarkh. Menjadikan semata-mata urusan keluarga adalah urusan perempuan, urusan ibu. Pengasuhan anak, ditibankan pada ibu. Oleh karena itu jika terjadi sesuatu pada anak yang orangtuanya sama-sama bekerja, pihak yang lebih banyak disalahkan adalah ibu bukan ayah. Jika ibu bekerja lalu ayah berselingkuh, lagi-lagi alasan yang banyak muncul adalah karena ibu terlalu banyak di luar rumah.
Yang diharapkan dari lingkungan penganut patriarkh kepada perempuan yaitu, pekerjaan sukses, keluarga pun terurus dengan baik. Perempuan sempurna menurut mereka adalah yang karirnya bagus, penampilan cihuy, rumah rapi, anak pintar, suami terawat. Karena apa? Ya karena memang begitulah dunia yang ideal menurut pandangan umum yang sayangnya banyak sekali pengikutnya itu.
Tapi tahukah wahai Tuan dan Puan, tuntutan itu amat sangat berat untuk ditanggung seorang diri. Efeknya bisa ke mana-mana, bahkan menggangu kesehatan mental seperti timbulnya rasa bersalah yang tidak perlu, muncul rasa tidak mampu, hingga perasaan bukan ibu/perempuan yang baik. Belum lagi persaingan antara perempuan yang sebetulnya juga diciptakan oleh para misoginis supaya perempuan berlomba-lomba mengikuti maunya.
Menyusui versus susu formula, melahirkan spontan versus Caesar, ibu bekerja versus ibu di rumah, and the lists will go on and on. Pernah dengar tidak sih laki-laki dibilang “Bukan bapak yang baik” gara-gara anaknya nilainya jelek atau melakukan kenakalan? Jarang kan? Sebutan “Bukan ibu yang baik” lebih sering terdengar. Kenapa laki-laki tidak dibebani tuntutan yang sama, sih? Bukankah mengurus anak dan menjaga bahtera rumah tangga adalah tugas berdua? Tugas ayah dan ibu? Bukankah yang memiliki kontrol dalam kasus perselingkuhan adalah pelaku perselingkuhan itu sendiri? Suami selingkuh, kok yang disalahkan istri? Huh. Yang punya kehendak siapa, yang disalahkan siapa.
Pola pikir seperti ini sudah saatnya dihilangkan. Sekarang juga! Media harus menghilangkan artikel tips dan trik menjadi supermom atau superwoman itu, digantikan dengan artikel mengenai peningkatan kesadaran bahwa mengurus rumah tangga adalah tugas bersama dan bahwa perempuan memiliki hak yang sama seperti laki-laki di ruang publik. Perempuan juga agar tidak ragu untuk menjalankan apapun yang menjadi pilihannya karena tidak ada lagi persaingan yang tidak sehat antar-perempuan.
Perempuan bisa berkarir, berkarya di luar rumah tanpa khawatir urusan rumah atau anak terbengkalai karena tahu pasti ada pasangan yang mendukungnya. Penekanan ada pada kerja sama, bukan ditekankan pada satu pihak, bahwa suami dan istri juga sama-sama memiliki tanggung jawab dalam mengelola rumah tangganya. Termasuk urusan domestik dan anak. Dan oh please stop glorifying men who doing chores. Doing chores itu kewajiban penghuni rumah, jadi memang sudah sewajarnya laki-laki itu beberes rumah. Appreciate, yes. Glorifying? No!
Ketika seorang perempuan dan laki-laki memutuskan untuk membangun sebuah rumah tangga, maka menjadi tugas keduanya untuk mengurus dan menjaganya. Ketika seorang perempuan dan laki-laki memutuskan untuk memiliki anak, maka tugas keduanya juga untuk mengurus dan menjaga anak itu nanti, bersama-sama. Sayangnya banyak laki-laki yang masih enggan untuk melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh perempuan.
Gengsi? Masih ada gengsi hari gini? Gengsikah membawa anak bermain di luar rumah? Gengsikah mencuci dan menjemur pakaian? Memasak? Membersihkan rumah? Bapak saya sampai sekarang masih belanja ke pasar dan mencuci piring, bahkan mencuci baju. Bapak dan mama saya, mereka berbagi tugas, dan saya bangga karenanya. Kalau generasi senja sudah seperti itu, mosok generasi pagi gengsi melakukannya?
Laki-laki yang mau membantu istrinya melakukan tugas rumah tangga itu seksi, lagi. Menurut saya sih. Eh ini appreciate atau glorifying ya? Ups!
Gambar diambil dari: Pinterest @indranesia
Nurina Wardhani
- PEREMPUAN YANG MENANGGUNG TERLALU BANYAK (CERITA 1) - April 22, 2022
- KARIR LANCAR, ANAK PINTAR, SUAMI TAK TERLANTAR - Maret 15, 2022
- DAY 472 - Januari 20, 2021
Nice Share