KENALI DIRIMU, KENALI SIAPA KAMU
Who am I? Pertanyaan ini terkesan sederhana. Namun siapa sangka 3 kata yang terkesan sederhana ini bisa membuat orang selalu bingung, dan bahkan tidak bisa menjawabnya! Pertanyaan ini selalu menjadi refleksi bagi seseorang yang sedang mencari jati diri. Mengenali diri sendiri memang tidak mudah. Ada cara tertentu yang dilewati oleh masing-masing individu yang sedang berproses mencari siapa dirinya. Pertanyaan “Siapa aku?” menjadi pemantik untuk menggali pemahaman tentang diri kita.
Saya sendiri bertahun-tahun tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Memahami diri sendiri sama halnya menyelami dirimu yang terdalam, yang paling mendasar, yang sangat personal, dan hanya kamu yang tahu. Ini tentang apa yang pernah kamu alami, dan ini soal realitas kehidupan yang terjadi. Ini sama halnya kamu siap menerima apapun yang pernah terjadi dalam hidupmu. Ini sama halnya kamu menyelami dirimu di dalam ruh jiwamu yang paling dasar. Ini tentang dirimu dan the self-mu, dan ini adalah tentangmu sebagai manusia!
Setiap orang akan berproses berbeda dalam mengenal dirinya. Bisa dengan peristiwa yang tidak menyenangkan, atau demikian pula yang menyenangkan. Bisa juga dengan hal-hal di luar dugaan yang mungkin sebelumnya kamu tidak pernah membayangkannya. Yang perlu disadari adalah bahwa ini semua tentang kenyataan hidup. Pada proses ini, setiap orang belajar menjalani hidupnya sendiri. Dengan perasaaan sukacita, duka, sedih, bahagia dan menerima perasan-perasan apapun yang terjadi. Ini soal hidup yang kita jalani dan lakoni. Jadi kita harus yakin bahwa hidup ini sebuah proses yang saling berkelindan satu dengan lainnya. Karena hidup sebuah proses, maka hidup ini sangat berwarna; siang malam, kaya miskin, hitam putih, adakalanya takut tapi juga berani. Saya sendiri memaknai kata tersebut tanpa dikotomis melainkan saling beriringan.
Berbicara soal mengenali diri bagi saya adalah proses menjadi perempuan merdeka. Perempuan merdeka adalah bagaimana ia punya pilihan-pilihan atas dirinya, menentukan cita-citanya, menggapai mimpi-mimpinya, serta berani mengambil keputusan beserta risiko yang menyertainya, berani bersikap, dan punya independensi. Menjadi merdeka adalah sebuah proses yang tidak mudah bagi perempuan. Saya pun perlu berjuang cukup keras dalam konteks ini. Salah satu hal yang kemudian saya kenali adalah bagaimana pengalaman sewaktu kanak-kanak dan lingkungan saya dibesarkan mempengaruhi bagaimana saya bertumbuh dan berkembang. Tulisan ini adalah refleksi tentang pengalaman-pengalaman hidup, tentang realitas sosial yang pernah terjadi.
Saya ingat bagaimana saya dibesarkan di dalam lingkungan keluarga yang memiliki keyakinan terhadap nilai-nilai agama yang cukup kental, juga nilai-nilai lainnya dalam budaya Jawa. Sebagai perempuan yang besar di lingkungan semacam itu, tentunya keyakinan dan ajaran tersebut mempengaruhi cara pandang, sikap, dan perilaku saya dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu dari nilai-nilai itu di antaranya terkait ajaran agama tentang birrul walidain. Hal ini berkaitan dengan bakti anak terhadap orangtua. Birrul walidain terdiri dari dua kata birru yang artinya kebajikan atau berbuat baik dan al-walidain yang artinya kedua orangtua. Jadi artinya berbuat kebajikan kepada kedua orangtua. Kebajikan ini bisa dimaknai sangat banyak, di antaranya mengikuti keinginan dan saran orangtua, berbakti kepada orangtua, menghormati dan memuliakan orangtua, membantu orangtua, mendoakan orang tua. Nilai ini salah satu nilai yang saya Yakini, demikian juga diyakini oleh banyak kalangan. Salah satu perintah Allah SWT, yang hukumnya fardhu ain atau wajib. Namun pada praktiknya, perintah wajib dan bakti seringnya menjadi kepatuhan tanpa batas yang membuat anak tidak punya pilihan untuk bertanya. Seringkali kepatuhan itu kemudian membuat orangtua memiliki previlege atau hak istimewa untuk mengatur anaknya sesuai dengan kehendaknya.
Yang terjadi kemudian banyak anak tidak punya pilihan-pilihan sendiri terkait ingin menjadi apa dan punya minat apa, karena lebih banyak ditentukan oleh kehendak-kehendak orang dewasa. Padahal anak punya hak menentukan kehendak, cita-cita, serta minat bakatnya. Orangtua membantu menemukan bakat anak dan memfasilitasi proses-proses yang mendukung terhadap kepentingan terbaik anak. Hanya saja belum banyak orangtua yang pada saat itu memiliki perspektif ini. Yang terjadi seringkali anak menjadi korban kehendak orangtua. Apalagi sebagian anak mengartikan birrul walidain secara tekstual sehingga terjebak pada pemahaman arti patuh sebagai bentuk bakti karena tak berani keluar dari nilai-nilai tersebut.
Padahal makna dari kata birru sangat mulia, yakni kebijakan atau kebaikan. Dalam hal ini, kebijakan bisa kita maknai lebih jauh, artinya bagaimana kebijakan ini melahirkan dialog, dengan cara bertanya dan menyampaikan, baik kehendak anak maupun orangtua. Komunikasi dan dialog yang terjadi menentukan keputusan bersama tanpa ada yang merasa dirugikan karena ada proses untuk memahami alasannya.
Saya sendiri pernah terjebak dengan pemaknaan birrul walidain yang salah kaprah. Waktu itu saya memahaminya dengan arti kepatuhan dan kehendak penuh orangtua. Hal ini membuat saya tidak berani menolak patuh atas keinginan-keinginan yang diharapkan orangtua. Dalam hati saya ada konflik diri dan sesekali berontak, antara kehendak pribadi dan kepatuhan yang tak terbantah. Pada dasarnya saya merasakan sebuah konflik batin. Hati saya menolak menentangnya namun keberanian untuk mengungkapkan tidak ada. Ini berkaitan dengan relasi kuasa, kepatuhan terkadang berarti ketundukan. Ajaran dan nilai tak lain sebagai wacana yang mempengaruhi seseorang. Lebih tepatnya dirimu dikuasai oleh nilai-nilai yang kamu yakini. Jadilah kita diri yang kerdil, yang tak punya agency untuk melawan. Maklum lah, saat itu saya masih kecil dan masih anak ingusan.
Membicarakan hal ini dengan banyak kawan membuat saya tahu ternyata mereka juga punya pengalaman yang mirip-mirip, tentunya dengan variasi kasus yang bermacam-macam. Ada yang dipaksakan cita-citanya menjadi PNS, polisi, atau TNI. Ya jika bicara soal orangtua zaman dulu, beberapa kesuksesan diukur dengan profesi-profesi tersebut. Kata “patuh dan bakti” yang tidak dimaknai lebih luas dan justru terjebak dengan nilai lama bisa merenggut banyak hak anak. Hanya saja tidak banyak anak-anak yang bisa memaknai proses-proses di atas dengan kritis, sehingga mereka memilih cari amannya saja. Contoh di atas adalah gambaran bagaimana nilai, etika, dan ajaran telah tertanam dan terinternalisasi.
Yang kedua adalah nilai tentang pengalaman menjadi perempuan. Menjadi perempuan bagi banyak orang memiliki arti perempuan yang baik, santun, tidak banyak omong, dan patuh terhadap orangtua ataupun guru. Pada situasi tertentu, ia tidak boleh tertawa ngakak, duduk bersila, atau punya banyak pacar. Sehingga jika ada perempuan yang suka membantah dan banyak omong serta banyak tingkah, akan banyak mendapatkan kecaman alias komentar paling miring. Saya ingat betul bagaimana teman saya yang sering keluar malam dan punya pacar menjadi pergunjingan teman-teman kami. Atau kalau kamu ngomong dengan cara kasar akan banyak ditegur. “Gak elok wadon ngomong ngono,” tidak pantas perempuan bicara seperti itu. Atau beberapa contoh lain yang kita sendiri bisa refleksikan sebagai perempuan.
Hal lain yang juga menjadi keyakinan di banyak kalangan adalah soal nilai yang berkembang pada masyarakat Jawa tentang macak manak masak. Nilai ini diyakini banyak masyarakat Jawa menjadi pedoman perempuan masa depan dalam institusi pernikahan. Akibatnya nilai ini berkembang kuat di masyarakat sehingga menjadi aturan tersendiri bagi perempuan melaksanakan tugas-tugas domestik dalam rumah tangga. Sebelumnya saya sendiri juga berpikir tentang bahwa hal-hal tersebut adalah tugas perempuan, namun setelah saya belajar soal isu perempuan atau lebih tepatnya soal gender, ternyata hal itu merupakan konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat. Kontruksi itu punya implikasi-implikasi tertentu karena sudah melekat dan terinternalisasi pada kultur masyarakat. Implikasi ini juga berakibat pada batasan-batasan terhadap perempuan yang terjadi di masyarakat, misalnya tidak boleh keluar malam, pernikahan anak, serta pembatasan akses sosial yang pada akhirnya membuat perempuan tidak punya kesempatan lebih dalam mengembangkan diri.
Pengalaman ini hanya sebagian proses mengenali diri yang saya sadari, dan tentunya masih banyak pengalaman-pengalaman yang membuat kita sendiri semakin memahami diri kita. Mengenali dirimu sama halnya mengenali Tuhan-mu. Maka berjuanglah untuk mengerti dirimu. Karena hal inilah yang membuat kamu merdeka dan tetap menjadi dirimu sendiri yang sejati.
Ani Rufaida
- KENALI DIRIMU, KENALI SIAPA KAMU - Maret 10, 2022
- Cintai Dirimu dan Orang-Orang di Sekelilingmu: Sebuah Pendekatan Appreciative Inquiry - Juli 29, 2019
Nice Share