MEMIKIRKAN ULANG PERTANYAAN “KENAPA BELUM PUNYA ANAK?”
Satu tahun belakangan saya cukup rutin melakukan yoga dengan bekal instruksi dari berbagai video Youtube. Suatu hari di tahun 2020 saya sedang menstruasi dan merasakan ketidaknyamanan secara emosional lebih dari biasanya, mungkin karena pada saat itu juga bersamaan dengan pekerjaan yang cukup intens. Karena ketidaknyamanan itulah saya sampai pada salah satu video instruksi yoga yang memang khusus untuk healing di masa menstruasi.
Singkat cerita, setelah sesi berakhir saya membuka video lain di dalam kanal Youtube tersebut dan ternyata instruktur yang satu ini memang memfokuskan diri pada yoga untuk perempuan, khususnya pada persoalan terkait dengan rahim dan kehamilan, mulai dari yoga selama program hamil, selama kehamilan, pasca melahirkan, pasca keguguran, menstruasi, dan lain-lain.
Di sanalah saya menemukan banyak komentar yang mengharukan soal bagaimana seorang perempuan menghadapi keguguran, menunggu kehamilan selama bertahun-tahun, berproses untuk sembuh dari penyakit yang terkait dengan rahim. Dari situlah saya sadar bahwa apa yang saya hadapi selama ini tidak seberapa dibanding semua itu.
Saya sendiri sudah hampir lima tahun menikah dan belum dikaruniai anak. Apakah kami tidak ingin? Kami berdua sangat ingin. Pada dasarnya saya dan suami siap ketika ditakdirkan oleh Tuhan memiliki anak hari ini, namun kami juga akan tetap bersyukur jika hingga akhir hayat ditakdirkan hidup berdua saja. Usaha dan doa kami lakoni sebagai manusia, selanjutnya berserah kepada kekuatan yang lebih besar adalah kunci utama untuk kemudian tetap produktif dan bahagia lahir batin melanjutkan kehidupan dan tugas-tugas sebagai manusia di dunia.
Selama lima tahun pernikahan pada dasarnya saya sangat bahagia dengan kehidupan bersama suami. Semua terasa cukup dan fulfilled, saya mencintai diri saya dan suami apa adanya kami. Tentu kami juga sering berhadapan dengan pertanyaan soal mengapa kami belum dikaruniai anak di banyak pertemuan, yang sebenarnya saya sendiri tidak dapat menjawab, karena jawabannya ada di suratan takdir saya yang tentunya kita sama sekali tidak tahu soal itu. Kapan seorang manusia akan hadir di dunia tentu tidak dapat dikontrol oleh manusia itu sendiri seberapa canggih pun peralatan yang dimiliki olehnya.
Dari berbagai sumber, bahkan program bayi tabung IVF Morula misalnya, rata-rata keberhasilannya hanya 70 % untuk perempuan usia di bawah 35 tahun, dan 40 % untuk perempuan di atas 35 tahun. Tentu sisanya kembali lagi merupakan takdir.
Seringkali pertanyaan soal kenapa belum punya anak juga muncul diikuti dengan berbagai saran dan kritik yang mungkin lebih tepat disebut penghakiman, misalnya, “makanya jangan minum kopi terus, makanya jangan makan pedas, kamu sih kegemukan, cobalah ini, cobalah itu”. Nah, saran dan kritik ini tentu menjadi tidak etis ketika lawan bicara kita tidak pernah meminta. Selain itu, logikanya saran hanya dapat diberikan jika kita tahu betul masalahnya. Jadi, misalnya ketika kita bertemu seseorang yang tidak setiap detik kita bersamanya dan dia sendiri tidak pernah menceritakan masalahnya, kemudian tidak ada angin tidak ada hujan kita memberi saran, apakah ini etis? Darimana kita tahu saran itu valid, dan darimana kita tahu saran itu akan bekerja untuk masalah orang ini?
Pernah suatu waktu ada seorang kerabat yang setelah melahirkan ASI-nya tidak keluar hingga berhari-hari. Sanak keluarga yang datang memberi saran ini itu, tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang dirasakan si ibu. Hingga ketika semua sudah dilakukan, ASI-nya tetap tidak keluar, muncullah berbagai penghakiman, dari mulai soal si ibu ini dianggap tidak cukup makan makanan bergizi selama hamil, hingga bahwa si ibu memang tidak mau memberi ASI karena takut bentuk tubuhnya berubah. Ini tentu tidak menyelesaikan masalah, karena semua penghakiman tersebut tidak berdasarkan data yang tepat atas masalah yang dialami si ibu. Usut punya usut, masalah utamanya bukan soal gizi, bukan pula soal ketakutan atas bentuk tubuh yang berubah, namun pada psikologi si ibu.
Setelah melahirkan si ibu ternyata mengalami yang kita kenal dengan baby blues namun baik suami hingga keluarga yang lain justru tidak menyadari ini karena sekali lagi terlalu sibuk ingin memberi saran dan kurang mendengarkan, sehingga kemudian justru semua saran itu menjadikan baby blues si ibu ini semakin buruk. Dia merasa tidak didukung, namun sekaligus dia merasa menjadi ibu yang gagal dan menyalahkan diri sendiri karena semua orang menghakiminya. Lalu kalau sudah begini siapa yang bertanggung jawab atas semua “saran” ini? Cerita ini menjadi salah satu bahan refleksi bagi saya sendiri yang akhir-akhir ini sering berkunjung untuk menengok teman yang melahirkan.
Kita perlu juga memikirkan bahwa orang yang kita tanya soal anak ini bisa jadi sudah berusaha selama bertahun-tahun lamanya, sudah mencoba berbagai program hamil yang membutuhkan dana puluhan hingga ratusan juta rupiah, mungkin dia juga menangis di setiap sujudnya, kita perlu sadar bahwa dialah yang paling menginginkan punya anak. Lalu kita siapa tiba-tiba menanyakan, “kok belum isi juga mbak?” Nah bagaimana orang ini bisa menjawab, dia sendiri juga masih berusaha mencari jawabannya hingga detik kita bertanya.
Di luar semua itu konstruksi masyarakat yang masih memandang bahwa perempuan dianggap gagal jika tidak dapat melahirkan anak, bahwa setinggi apapun karirnya, sesukses apapun dia, sebaik apapun prestasinya jika dia tidak memiliki anak tetap dianggap gagal sebagai perempuan dan lebih parah lagi dikasihani. Banyak saya mendengar kalimat seperti, “kasihan ya dia, sudah umur 40, sudah punya jabatan di bank A, tapi belum punya anak.” Kenapa harus kasihan? Bisa jadi dia bahagia-bahagia saja hidupnya, bahkan lebih bahagia dari kita yang membicarakannya, we never know secara detail dapur setiap orang, right? Dari logika macam apa kata “kasihan” ini bisa muncul?
Alih-alih kasihan, mengapa kita justru tidak ikut bangga dan bahagia dengan kerja keras perempuan ini. Apalagi jika kita sesama perempuan, bukankah lebih baik jika kita mendukungnya dengan memberi komentar positif? Selama dunia masih patriarkal dan tidak setara, kita perlu mengilhami bahwa prestasi perempuan baik di ruang publik maupun domestik, juga penanda bahwa perjuangan sesama perempuan mencapai kesetaraan sudah satu langkah lebih maju. Ikut berbahagialah dan saling mendukung secara produktif dan positif.
Apakah hanya perempuan yang kena getah dari perspektif yang kurang tepat soal kehadiran anak dalam keluarga? Ketika ada teman-teman yang mengunggah status tentang kelahiran bayi, apakah kalian familiar dengan komentar, “Selamat Mas, wah wes terbukti lanang tenan!” (Selamat Mas, sudah terbukti benar-benar laki-laki!). Jadi logika dari komentar ini menganggap bahwa seorang laki-laki benar-benar dapat dianggap laki-laki ketika dia bisa menghamili seorang perempuan?
Pandangan ini tentu tidak tepat karena soal jenis kelamin laki-laki atau perempuan sudah jelas dan pasti dapat dilihat dari alat reproduksi yang sudah kita miliki sejak lahir, hanya sesederhana itu. Sedang pandangan bahwa kamu dianggap laki-laki yang sebenarnya jika sudah mampu menghamili istri ini sungguh pernyataan atau komentar yang tidak tepat dan cenderung offensive. Bahkan lebih lanjut pandangan ini dapat memicu kekerasan dalam rumah tangga.
Bayangkan jika seorang laki-laki yang sudah berkeluarga namun belum tertakdir memiliki anak sedang berkumpul dengan teman-temannya dan keluar komentar semacam itu, dia pulang ke rumahnya dengan perasaan terluka dan merasa kurang sebagai laki-laki. Lalu bisa kalian bayangkan salah satu kemungkinan yang akan terjadi? Dia mungkin akan menumpahkan sakit hati dan rasa insecure-nya ini kepada istri, muncul pertengkaran dan saling menyalahkan, bisa jadi hingga kekerasan.
Apakah kita yang berkomentar akan bertanggung jawab? Mungkin kita bisa dengan enteng melanjutkan komentar, “ah baperan, masak gitu aja tersinggung? Kan cuma bercanda!” Bercandamu nggak lucu! Bukankah kita tidak pernah benar-benar tahu hati seseorang, instead of adding problems in their life with our unsensitive and offensive comments, lagi-lagi lebih baik kita diam dan membicarakan hal-hal yang membahagiakan.
Mungkin dari tulisan ini ada yang merasa, ribet amat hidup, dikit-dikit tersinggung, ditanya punya anak doang tersinggung. Ini bukan soal tersinggung atau tidak semata, namun kita perlu secara dalam memahami bahwa semua orang punya prioritasnya, semua orang punya jalan perjuangannya, semua orang memiliki ukuran kebahagiaan masing-masing. Ukuran kebahagiaan orang lain tentu tidak sama dengan ukuran kebahagiaan kita. Jika ukuran kebahagiaan kita adalah punya anak, belum tentu orang lain demikian. Jika kita sudah menikah dan bahagia, tidak kemudian kita perlu menyuruh semua orang harus menikah. Jika kita merasa sukses dengan punya rumah, mobil, keluarga tanpa perceraian, tidak semua orang harus demikian untuk merasa sukses.
Semua orang punya hak istimewa untuk mencapai kebahagiaannya dengan apa yang dijalaninya hari ini, apa yang dipilihnya hari ini, dan apa yang dimilikinya hari ini. Biarkan masing-masing orang bersyukur dan menikmati berkah Tuhan tanpa terusik pertanyaan-pertanyaan yang justru membuatnya ragu atau bahkan lupa akan berkah itu. Be nice dan berpikir dengan baik sebelum menanyakan apapun pada orang lain, terutama jika itu terkait hal personal mereka. Masih banyak pertanyaan menarik lain yang dapat menjadikan pertemuan dengan teman, saudara, dan kerabat kita lebih hangat dan nyaman.
Nia Agustina
- MEMIKIRKAN ULANG PERTANYAAN “KENAPA BELUM PUNYA ANAK?” - Maret 11, 2022
- Saya Iri Dengan Teman-Teman Perempuan Saya - Januari 16, 2019
- Berencana Menikah? Baca Ini Dulu! - Januari 4, 2019
Nice Share