Pengalaman Butuh Diproses Agar Bisa Menjadi Guru Terbaik
Pernahkah Anda berhenti sejenak dari aktivitas Anda, kemudian menikmati secangkir teh sambil merenung-renung tentang pencapaian Anda selama beberapa minggu, beberapa bulan, atau beberapa tahun terakhir? Atau Anda sudah tidak punya waktu lagi untuk melakukan hal ini saking banyaknya pekerjaan yang harus Anda selesaikan. Setelahnya Anda merasa sangat kelelahan dan akhirnya waktu yang tersisa hanya digunakan untuk istirahat saja. Kemudian keesokan harinya sudah harus menyelesaikan aktivitas atau pekerjaan Anda lagi.
Mungkin banyak orang pernah berada pada fase semacam itu. Berkegiatan, dan berkegiatan, capek, istirahat, dan esok hari berkegiatan lagi. Seperti itu berulang terus selama beberapa tahun. Kemudian menjadi heran ketika merasa bahwa, kok sepertinya saya tidak bertambah cerdas ya. Dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan seharusnya kita menjadi lebih cerdas bukan? Bukankah dengan banyaknya aktivitas maka pengalaman semestinya juga bertambah banyak? Namun yang terjadi, pengalaman/cerita tentang kegiatan yang dilakukan ya memang dirasa bertambah banyak. Tapi hanya sebatas pada bahwa telah dilakukan kegiatan ini dan kegiatan itu pada tanggal sekian, di sana, yang terlibat sekian orang. Sudah begitu saja! Lalu di mana korelasinya antara pengalaman tersebut dengan bahwa pengalaman adalah guru terbaik? Jika kemudian yang didapatkan hanya ingatan-ingatan atas teknis-teknis kegiatan yang dilaksanakan saja.
Wajar untuk menjadi gelisah ketika kita mengalami kejadian seperti di atas. Lalu sebenarnya apa yang terjadi?
Terhadap pertanyaan di atas, saya ingin mengenalkan tentang refleksi. Sebuah metode belajar dari pengalaman yang efektif untuk membantu percepatan dalam pengembangan diri. Teknik ini mudah saja. Hal yang dilakukan sebenarnya adalah mempertanyakan kembali apa yang sudah dilakukan, siapa yang terlibat, apa dampak positif, di bagian mana yang kurang, dan adakah muncul dampak negatif. Lalu ketika sudah melakukan semua kegiatan itu, apa yang terjadi pada diri kita. Sebelum berkegiatan deskripsi diri kita seperti apa, lalu setelah berkegiatan menjadi seperti apa.
Melakukan refleksi ini mudah kok! Bisa dicoba dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Akan lebih mudah memang jika teknik ini dipelajari dengan berpraktik langsung. Refleksi bisa dipelajari secara berkelompok dengan dipandu oleh orang yang memang memiliki keterampilan memandu kegiatan refleksi kelompok. Dan justru, dalam sebuah kegiatan yang dilakukan oleh tim, refleksi berkelompok ini akan menghasilkan pembelajaran yang lebih maksimal.
Dalam refleksi bersama ini, setiap orang akan dibantu dengan pertanyaan-pertanyaan kunci yang harus dijawab oleh masing-masing orang. Satu hal mendasar yang dibutuhkan adalah jujur terhadap diri sendiri dan jujur tentang pengalaman yang dialami. Ah, ini tidak mudah, karena orang seringkali terbius untuk mengatakan yang baik-baik saja, sementara kekurangan-kekurangan tidak pernah diakui. Terlebih ketika capaiannya adalah untuk peningkatan kualitas kehidupan berkeluarga. Seringkali yang terjadi adalah semua yang dinilai tidak baik dianggap aib, sehingga haram untuk dibicarakan—satu persoalan terbesar manusia dalam menjalani kehidupan ini menurut saya adalah menilai. Saya rasa, orang yang bekerja pada bidang peningkatan kualitas kehidupan berkeluarga ini butuh pendekatan tersendiri untuk membongkar apa yang kurang dan perlu diperbaiki.
Jujur terhadap pengalaman yang terjadi, perasaan, dan kekurangan-kekurangan yang ada merupakan persyaratan yang mesti terpenuhi untuk menghasilkan pembelajaran yang maksimal. Pertanyaan menohoknya adalah, dari mana kita akan terbersit melakukan perbaikan jika kekurangannya tidak ada? Secara logika, tidak akan pernah ada perbaikan jika tidak ada kekurangan, dan pada praktiknya nanti yang akan terjadi ketika melakukan pekerjaan adalah sekadar rutinitas belaka. Ya begitu-begitu saja. Sudah cukup asalkan terlaksana dengan baik dan dianggap tidak ada kekurangan. Kesadaran untuk mengetahui kekurangan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas ini sesungguhnya tidak perlu menjadikan kita gelisah atau malu.
Refleksi ini selain butuh kejujuran juga butuh waktu. Karena berefleksi butuh untuk mengingat setiap detail peristiwa, aksi dan reaksi yang terjadi di dalam peristiwa itu, kemudian menarik kesimpulan/pembelajaran atas detail peristiwa, aksi dan reaksi yang terjadi, serta perasaan yang muncul. Terkadang juga butuh untuk kemudian mendiskusikannya dengan orang lain. Tentu saja orang dengan frekuensi pengetahuan yang sama. Diskusi ini penting untuk memperkaya pembelajaran yang bisa diambil dari sebuah pengalaman. Jika refleksi dilakukan secara berkelompok, maka diskusi itu serta-merta akan terjadi.
Uraian di atas semoga menjadikan kita mengerti mengapa orang yang mengalami tidak serta-merta bisa belajar dari pengalamannya tersebut. Karena ternyata untuk menjadi guru terbaik, sebuah pengalaman itu butuh diproses terlebih dahulu.
Sebenarnya dalam praktik kehidupan masyarakat Jawa sehari-hari, refleksi ini mungkin dekat dengan apa yang sering kita sebut sebagai “nguda rasa” atau “ngudar rasa”. Nguda rasa dalam persepsi saya ini bukan bergosip lho ya. Dalam pemahaman saya, nguda rasa ini adalah berbicara tentang perasaan, peristiwa, dan bagaimana kait-mengkait yang terjadi di dalamnya. Baik orang-orangnya ataupun keterkaitan peristiwa tersebut dengan peristiwa yang lain. Nguda rasa ini jamak terjadi di dalam sekelompok orang dan biasanya tidak dilakukan secara individual.
Akhirnya, selamat berefleksi!
Asih Nuryanti
- Hidup Tanpa Gerundelan Itu Ada Caranya - Juli 4, 2019
- Pengalaman Butuh Diproses Agar Bisa Menjadi Guru Terbaik - Juni 27, 2019
- Simak Tulisan Ini: Pastikan Anda Bukan Penyebab Seseorang Tidak Pernah Bisa Mengambil Keputusan - Juni 24, 2019