“PEREMPUAN DI TITIK NOL” KARYA NAWAL EL-SAADAWI: MENGENANG KEMBALI PERKENALAN PERTAMAKU DENGAN ISU FEMINISME 20 TAHUN YANG LALU

Beberapa saat yang lalu, seorang teman mengirimkan sebuah tautan berita melalui pesan WhatsApp tentang meninggalnya Nawal El-Saadawi, seorang dokter sekaligus tokoh feminisme Mesir. Hal pertama yang langsung terlintas di pikiranku adalah karya-karya beliau yang begitu berbekas dan menancap tajam dalam hati dan pikiranku, karena 20 tahun yang lalu, tepatnya di tahun-tahun awalku menjadi mahasiswa di sebuah kampus di Jatinangor dulu, karya-karya Nawal inilah yang menemani hari-hariku di kamar kosan di sela-sela aktivitas kuliah dan berdemonstrasi di gerbang kampus serta mengorganisir mahasiswa baik di kampusku maupun kampus-kampus lainnya di Bandung Raya. Tidak berlebihan pula jika aku katakan bahwa karya-karya Nawal ini adalah persinggunggan pertamaku dan sekaligus awal terbukanya kesadaranku terhadap isu feminisme dan gerakan perempuan.

“Kita ngobrol mengenai Nawal dan Perempuan di Titik Nol untuk podcast-ku ya,” lanjut temanku. Aku langsung tertegun. Aku lupa detail cerita atau isi Novel Perempuan di Titik Nol, karena aku membacanya sudah 20 tahun yang lalu (walaupun seingatku aku membacanya lebih dari 1 kali, kalau tidak salah 3 kali, tetapi pada kurun waktu yang berdekatan), tetapi aku ingat betul bagaimana perasaanku ketika dan setelah membaca novel itu. Sebuah perasaan terluka, sakit hati, kosong, hampa, sedih, dan marah, yang bahkan masih sangat bisa aku ingat hingga saat ini. Menarik ya, bagaimana otak manusia dengan mudah melupakan hal-hal yang sudah lama berlalu, tetapi hati manusia masih menyimpan dengan baik memori pengalaman merasakannya.

Anyway, aku pun memutuskan untuk membaca ulang Perempuan di Titik Nol. Selain supaya lebih well prepared ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan temanku di podcast-nya nanti, juga karena ada perasaan aku ingin melakukan napak tilas dari salah satu pengalaman batin personalku berkenalan dengan isu feminisme, 20 tahun yang lalu. Namun tidak semudah itu, karena tidak hanya sudah membacanya 3 kali, aku juga sudah membeli bukunya 2 kali, karena yang pertama dipinjam teman dan tidak kembali, dan demikian juga yang kedua, sehingga aku sudah tidak memiliki buku itu. Untungnya ternyata buku itu sudah dicetak ulang baru-baru ini dan ada tersedia di toko buku langgananku di Jogja.

Aku pun membaca kembali novel bersampul merah berukuran kecil sejumlah 176 halaman itu. Tidak terlalu tebal memang, sehingga hanya dibutuhkan 2 hari saja untuk menyelesaikannya. Aku tertawa geli, karena ternyata ingatanku terhadap novel ini banyak bercampur dengan ingatanku terhadap novel-novel Nawal El-Saadawi lainnya yang juga aku baca. Jadi ada beberapa hal yang tadinya aku pikir aku membacanya di Perempuan di Titik Nol, ternyata tidak ada, dan baru setelah kuingat-ingat lagi, hal-hal itu sepertinya adanya di karya-karya Nawal yang lain, seperti Catatan Dari Penjara Perempuan, Memoar Seorang Dokter Perempuan, Tidak Ada Kebahagiaan Baginya, dan lain-lainnya. Again, otak manusia memang tricky ya, terlebih terhadap memori-memori yang sudah tersimpan lama sekali.

Perasaanku ketika membacanya ulang tidak seburuk perasaanku ketika membacanya pertama kali 20 tahun yang lalu. Mungkin karena sekarang pengetahuan dan pengalamanku terkait isu-isu perempuan sudah lebih banyak dibanding pada saat itu. Bahkan dalam kurun waktu 20 terakhir ini, sebagian besar dari pekerjaanku selalu bersinggungan dengan isu gender, feminisme, dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Meskipun demikian, novel ini akan selalu aku ingat sebagai salah satu pembuka jalan, perkenalan pertamaku, dengan isu dan gerakan yang kini menjadi concern dan pekerjaanku.

Perempuan di Titik Nol bercerita tentang Firdaus, seorang perempuan Mesir yang sepanjang hidupnya berjuang melawan segala stereotyping, ketidakadilan, dan kekerasan dalam segala bentuk yang menimpanya hanya karena dia seorang perempuan. Pengalaman hidup penuh ketidakadilan dan kekerasan itulah yang mengiringi perjalanan Firdaus dalam mencari definisi dan makna diri serta hidupnya sebagai seorang perempuan. Bagaimana ia seorang diri dan dengan caranya sendiri mencoba—dan akhirnya berhasil—merebut kembali definisi dan kepemilikan dirinya, tubuhnya, dan hidupnya sebagai perempuan, kembali menjadi milik dan haknya sendiri seutuhnya.

Meskipun keberhasilan di sini tidak berarti bahwa kemudian Firdaus benar-benar bisa merebut kemerdekaannya sebagai seorang manusia perempuan seutuhnya, namun justru sebaliknya. Demi merebut kembali kepemilikan atas diri, tubuh, dan hidupnya tersebut, dia harus menukarnya dengan hidupnya secara harfiah alias membayar dengan nyawanya. Namun dia bahagia dan menghadapinya dengan penuh keberanian dan tanpa penyesalan sedikitpun. Karena ya, kepemilikan atas diri kita, tubuh kita, dan hidup kita sendiri itu memang layak diperjuangkan dengan cara apapun dan pengorbanan apapun, bahkan nyawa kita.

Novel ini juga menunjukkan bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan bisa berasal dari kalangan dan latar belakang apa saja. Mau yang status sosialnya terhormat maupun tidak terhormat, mau kaya ataupun miskin, mau tua ataupun muda, mau berpendidikan tinggi ataupun tidak berpendidikan, mau ada ikatan saudara atau orang asing, mau seorang pangeran ataupun aktivis revolusioner, mau yang terang-terangan atau yang bersembunyi di belakang kedok cinta, mau yang karakternya kasar ataupun halus, semua, semua berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan.

Bahwa ketidakadilan serta kekerasan itu bisa dialami perempuan secara bertubi-tubi, terus-menerus, berlapis-lapis, dari segala arah, dan dalam segala bentuk dan wujud yang mungkin tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Dan bahwa seringkali perempuan itu benar-benar sendiri menghadapi semua ketidakadilan atau kekerasan itu, tanpa ada seorang pun yang menolongnya atau bahkan sekadar untuk tempat bercerita atau mengadu, tidak ada! Serta sekaligus bahwa hanya diri kita sendirilah, seorang diri, satu-satunya yang benar-benar memiliki kuasa serta tanggung jawab untuk menyelamatkan diri kita dan merebut kembali definisi diri, tubuh, serta hidup kita sendiri, entah bagaimanapun caranya. Firdaus telah menunjukkan itu semua.

Novel ini telah menyuguhkan fakta bahwa sebuah tatanan masyarakat dan lingkungan sosial yang patriarki dan syarat akan bias gender yang baku serta tersusun atas hierarki-hierarki kuasa yang kaku itu sangat mengerikan dan bisa menyiksa serta membunuh perempuan secara kejam dan perlahan-lahan (harfiah maupun kiasan) secara massif, terstruktur, dan sistematis. Dan aku kira dengan berbagai variasinya, apa yang disajikan dalam Novel Perempuan di Titik Nol ini masih menemukan konteksnya hingga saat ini di lingkungan yang paling dekat dengan kita.

Walaupun kabar baiknya, sudah ada banyak peningkatan dan kemajuan pengetahuan, pengalaman, serta jejaring yang dimiliki oleh gerakan perempuan hari ini dibanding dengan pada masa yang diceritakan dalam novel ini. Walaupun tetap saja, perjuangan perempuan untuk mencapai keadilan dan kedaulatan, serta bebas dari segala bentuk kekerasan masih jauh dari kata final, sehingga masih harus terus diperjuangkan oleh aku, kamu, kita!

Terima kasih kepada Nawal El-Saadawi atas warisannya yang bukan hanya sekadar sebuah cerita yang menusuk, tetapi jauh lebih dari itu, sebuah pembuka kesadaran dan pelecut aksi serta gerakan menuju sebuah tatanan masyarakat yang adil gender dan bebas dari segala bentuk kekerasan.

Fitri Indra Harjanti

Fitri Indra Harjanti
Bagikan:

Fitri Indra Harjanti

Seorang fasilitator, editor, penerjemah, dan penulis freelance yang tinggal di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Aktif menggeluti isu gender dan feminisme sejak 7 tahun yang lalu. Menghabiskan waktu luangnya dengan menonton film di bioskop, mendengarkan band Queen, dan berbicara dengan kucing-kucingnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *