PEREMPUAN YANG MENANGGUNG TERLALU BANYAK (CERITA 1)

            “Belum tidur?”

            “Eh, belum, Mas. Masih nanggung nih.” Sasi menunjuk ke arah laptop yang terbuka lebar di depannya.

            “Jangan malam-malam tidurnya. Mas duluan ya.” Suaminya, Danang, beranjak naik ke tempat tidur dan pulas dengan segera. Sasi menghela napas. Laptopnya sih benar terbuka lebar, tapi sejak tadi ya cuma di situ-situ saja, nggak bertambah paragraf, nggak bertambah kata. Kursornya berkedip-kedip di tempat yang sama. Matanya menerawang. Pikirannya sedang memutar ulang percakapannya dengan Nayla tadi siang di kantor.

“Emailmu sudah dibalas, Nay?”

            “Sudah.”

            “Terus gimana?”

            “Efektif per bulan depan”

            “Wah, beneran, nih?”

            “Yah, ya beneran lah. Mosok bohongan. Sudah nggak ada lagi yang menahanku di sini, Si.” Nayla menatap Sasi.

            “Kamu sendiri gimana, Si? Nggak capek?”

            Sasi menatap Nayla dengan pandangan tak percaya. Nayla lalu tertawa, dia paham pertanyaannya itu tak perlu dijawab. Toh mereka berdua sama-sama tahu jawabannya.

            “Nanti lah Nay. Aku sedang mempersiapkan. Aku nggak mungkin meninggalkan tim begitu saja.”

            “Take your time, Si.”

Sasi mengangguk. Ia tahu sahabatnya itu setengah mati menahan diri untuk tidak memaksanya. Mereka berdua sudah sering membicarakan masalah ini. Suasana menjadi agak canggung. Diselamatkan oleh Tika, anak magang yang tiba-tiba muncul mencarinya.

Aahh. Sasi menutup mata dengan kedua tangannya. Sasi tahu Nayla sudah lama mengajukan pengunduran diri, dan selama itu pula – entah sengaja atau tidak – jawaban atas pengunduran diri itu tidak pernah direspon oleh kantor. Bertahan lebih lama lagi akan membuat Nayla gila, Sasi tahu itu. Situasi di kantor sudah sangat tidak sehat. Oleh karenanya, Nayla tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mumpung direspon, Si, katanya. Sasi sepakat. Tapi, bagaimana dengan dirinya? Mau sampai kapan? Itu pertanyaan yang jawabannya seperti di awang-awang. Sasi menatap kursornya yang berkedip-kedip. Berusaha menuangkan apa yang ada dalam kepalanya. Pembuatan SOP ini harus selesai minggu depan, berkejaran dengan agenda-agenda lain dan urusan keluarga yang seolah tak ada habisnya. Kesal karena tidak satupun dapat terpikirkan, Sasi menutup laptopnya dan mencoba tidur.

            *

“Hai Sasi, aku mau maksi dulu. Nanti jangan lupa jam dua ada rapat dengan Divisi lain ya kita.” Mbak Ratih, atasannya, mengingatkan sambil berlalu.

            “Oh, hari ini ya? Aku kira besok.”, Sasi membuka buku agendanya. Berusaha mencari-cari di mana dia menuliskan agenda rapat hari ini. Ketemu, dia memang menuliskan hari ini. Kenapa dia bisa lupa ya? Ini sudah kesekian kalinya dia lupa jadwal rapat.

            “Iya, hari ini rapatnya. Kamu lupa lagi?” Nayla tiba-tiba muncul di ruangannya sambil membawa dompet. “Yuk, berangkat.”

            “Kemana, Nay?”

            “Kita janjian maksi mie ayam sebelum rapat nanti kan? Kamu lupa juga?”

            “Aaah, iya. Yuk jalan.” Sasi meraih dompetnya lalu beranjak pergi bersama Nayla. Tempat yang dituju tidaklah jauh, Cuma 10 menit berjalan kaki. Mereka memesan lalu mencari tempat duduk.

            “Jadi, kamu ingat atau lupa kalau kita janjian maksi hari ini sebelum rapat?” Tanya Nayla.

            “Aku lupa. Aku juga lupa kalau rapatnya jam dua. Semalam, aku nggak bisa tidur.” Akunya pada Nayla. Yang ia lakukan semalam hanya membolak balikkan badan sampai ayam berkokok.

            “Kenapa?”

            “Aku nggak tahu. Aku memikirkan obrolan kita. Kamu resign, terus nanti aku curhatnya sama siapa dong?” Sasi berusaha menyembunyikan kegelisahannya. Tapi Sasi tahu, Nayla selalu tahu.

            “Ya masih sama aku juga gapapa kan. I’m available 24/7 spesial buat kamu deh. Tapi bukan itu kan yang kamu pikirkan?”

            Ah, Nayla. Nayla selalu to the point. Selalu memaparkan realita yang Sasi sebetulnya ingin hindari. Selalu menyasar topik-topik yang Sasi tidak ingin bahas.

            “Kita sama-sama tahu kan Nay, aku sudah di sini lebih lama daripada kamu. Aku senang dengan apa yang aku lakukan, ini passionku. Helping people. Tapi kita pun tahu kalau sistem kerjanya sudah nggak sehat.”

            “Iya Si, Sudah nggak sehat, pembagian kerja nggak jelas, konflik melulu. Konfliknya itu lagi – itu lagi pula. It hurts us, physically and foremost, mentally. Terus gimana? Apa rencanamu ke depan?” Khas Nayla. Tanpa basa-basi. Menghunjam tepat di jantungnya. Apa rencananya ke depan? Apa rencana Sasi ke depan? Apakah ia punya rencana? Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari ibunya menanyakan apakah hari ini jadi mengantar beliau ke rumah sakit untuk kontrol. Seketika Sasi ingat kenapa ia bisa melupakan rapat jam dua hari ini. Karena ia harus mengantar ibunya.

            “Si? Are you okay?” Nayla melihat wajah Sasi yang bingung.

            “Aku harus antara ibu ke rumah sakit untuk kontrol, Nay. Padahal ada rapat. Gimana ya?”

            “Minta tolong Mas Danang antar lah Si. Atau adikmu. Apa kamu mau membelah diri? Kan gak mungkin yaaa.” Nayla mencoba melucu. Yang tidak lucu. Sasi makin galau. Dia menghela napas.

            “Aku coba kontak adikku deh.” Tapi Sasi yakin adiknya akan menolak dengan berbagai macam alasan pekerjaan. Ha! Kayak ia sendiri tidak sibuk. Tapi kenapa selalu dia yang harus mengurus segalanya? Arrgh. Jemarinya bergerak cepat di atas keyboard ponselnya, lalu menekan tombol kirim.

            “Si, makan dulu deh. Kalaupun nanti terpaksanya kamu yang harus antar, izin sama Mbak Ratih aja gak apa-apa. Yang penting sekarang isi dulu perutnya, nanti asam lambungmu kambuh.” Usulan Nayla tampak logis dan benar. Sasi mengangguk. Mie ayamnya jadi terasa tidak senikmat biasanya.

*

            Sasi menyusuri lorong rumah sakit pemerintah yang selalu ramai ini. Mbak Ratih membolehkan ia untuk tidak mengikuti rapat. Adiknya menyanggupi untuk mengantar ibu ke rumah sakit sehingga Sasi tidak perlu pulang dulu ke rumah menjemput. Tapi tentu saja, bagian menunggu dan berbicara dengan para dokter selalu adalah bagian Sasi. Padahal itu adalah bagian yang paling menyita waktu.

Ah, satu lagi belok kanan, lalu ke kiri, dan di situlah ibunya, duduk menunggu.

            “Tunggu ya Bu, Sasi ke bagian pendaftaran dulu.”

“Kan sudah daftar to nduk?”

“Iya Bu, ini daftar ulang aja.”

Ibunya mengangguk.

Sebagai penderita penyakit komplikasi, ibunya harus rajin kontrol ke rumah sakit setiap bulannya. Beberapa bulan yang lalu, ibu terkena asam lambung dan harus ke dokter spesialis penyakit dalam. Bertambahlah rutinitas perihal kesehatannya setiap bulan. Siapa yang sering mengantar ibu? Ya hanya Sasi. Ada banyak orang di rumah, tapi hanya Sasi yang tampaknya peduli untuk meluangkan waktu, sesibuk apapun. Rasa-rasanya menyanggupi lebih mudah daripada harus memberikan pengertian pada anggota keluarga yang lain. Ah lagipula, sambil menunggu begini bisa kok digunakan untuk berkoordinasi urusan pekerjaan, pikirnya. Atau membaca buku, atau, seperti yang sedang dilakukannya saat ini, memikirkan hidup. Memikirkan pertanyaan Nayla. Rencana? Rencana apa yang dimilikinya?

Ia teringat rencananya untuk sekolah lagi. mengambil Master melalui beasiswa yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari. Kelengkapan administrasi, surat rekomendasi, skor kemampuan berbahasa Inggris, semua sudah siap hanya untuk kecewa karena ia sudah melampaui batas usia maksimal yang disyaratkan. Ia juga teringat keinginannya untuk mendaftar menjadi pegawai pemerintah, sekali lagi harus urung dilakukan karena batas usia. Dua hal itu ia simpan rapat-rapat dari Nayla. Karena bagaimana mungkin ia bisa begitu bodoh? Kenapa ia tidak memperhatikan syarat itu? Belum lagi kata-kata orangtuanya saat Sasi mengutarakan niatnya untuk mendaftar beasiswa ke luar negeri. Kenapa harus ke luar negeri? Di sini aja nggak bisa? Nanti kalau ada apa-apa bapak ibu sama siapa? Pertanyaan terakhir rasanya ingin Sasi teriakkan kencang-kencang jawabannya.

Jadi begitu saja. Yang ia pikir tadinya adalah rencana cemerlang, dengan segera menyusut. Rencana yang tadinya menempati satu kompartemen besar di hati dan pikirannya, sekarang bahkan melayang-layang tanpa kompartemen. Menunggu untuk menguap dan menghilang, meninggalkan ia sendiri. Sebelum Nayla, sebetulnya ada beberapa temannya yang sudah lebih dulu keluar. Mencoba peruntungan di tempat lain. Sasi bisa melihat mereka menjalani pilihannya masing-masing. Sasi merasa tertinggal. Lalu gilirannya kapan?

Sasi menyelesaikan urusan kontrol rumah sakit di loket daftar ulang, lalu kembali menemui ibunya.

“Sudah daftar ulang, Bu. Pindah tempat yuk.” Sasi mengulurkan tangan dan membantu ibunya berjalan.

“Tadi, bapak di rumah sama siapa, bu?” Tanya Sasi sambil memapah ibunya.

“Biasa, sama Lila dan anaknya.” Lila adalah istri Agung, adik Sasi. Mereka tinggal bersama di rumah orangtua Sasi. Sasi dan suaminya, Agung dan keluarganya, lalu orangtuanya. Cukup sesak, Sasi mengakui.

“Ooh.”

“Mas Danang pergi sejak jam 10.”

“Iya, tadi bilang mau ketemu teman-temannya.”

“Tadi, ibu bilang kalau mau kontrol ke rumah sakit. Tapi nggak ada respon apa-apa.”

“Ooh, iya mungkin terburu-buru.”

“Enggak terburu-buru kok. Tapi ya nggak ada respon. Ibu juga nggak enak mau minta antar.”

Sasi menghela napas panjang. Ia tidak ingin memperpanjang obrolan ini.

“Nah, sudah sampai, Bu. Kita tunggu dipanggil ya.”

Ibu mengangguk.

*

Hari Jumat. Hujan sejak semalam. Pagi-pagi yang tersisa hanya rintik-rintiknya. Tapi sungguh sebuah tantangan karena ini waktunya Sasi untuk mencuci baju yang sudah menggunung. Ia menyeret baju-baju kotornya keluar dan membawanya ke ruang cuci. Ibunya sedang memasak dibantu Lila. Bapak menonton berita, sedang keponakannya bermain di depan TV.

“Mas Danang di mana, Bu?” Tanya Sasi. Ia terbangun duluan saat Mas Danang masih tidur,  lalu keluar kamar, dan ketika ia masuk lagi untuk mengambil baju kotor, Mas Danang sudah tidak ada di kamar.

“Di mana lagi, Mbak. Di luar paling, sambil rokok-an.” Sahut Lila. Sasi memasukkan baju-bajunya ke dalam mesin cuci, menyalakan mesin, lalu mengintip ke luar. Benar kata Lila. Mas Danang sedang merokok sambil minum kopi hitam kesukaannya di teras rumah. Lila mengambil beberapa bakwan panas  dari meja, dibawanya ke luar.

“Bakwan, Mas. Anget-anget.”

“Oh iya.” Mata suaminya masih lekat ke ponselnya. Sasi duduk di sebelahnya.

“Main apa sih? Asyik banget.”

“Cuma lihat-lihat IG aja, liat berita receh-receh.”

            “Ada rencana apa hari ini?”

            “Enggak ada, paling ke tempat biasa sama teman-teman.”

            “Ooh”

            “Tadi Bunda telepon sebentar. Katanya butuh tambahan untuk bayar dokter.” Bunda adalah panggilan untuk ibu mertua Sasi.

            “Ooh.” Sasi terdiam. Mas Danang juga diam, matanya masih lekat ke ponsel.

            “Kamu ada?”

            “Ada apa?”

            “Uangnya. Aku nggak ada soalnya.”

            Sasi menelan ludah. Mas Danang tidak memiliki pekerjaan tetap, tapi bukannya tidak bekerja sama sekali. Meskipun demikian, toh Sasi tidak pernah merasakan hasilnya. Entah ke mana hasil Mas Danang bekerja. Hampir semua tagihan Sasi yang membayar. Belum kalau harus kirim uang ke mertuanya untuk kebutuhan macam-macam.

            “Iya, nanti aku kirim.” Sasi akhirnya bersuara.

            “Aku masuk dulu ya Mas, lagi nyuci.” Sambungnya, lalu beranjak masuk. Mas Danang mengangguk, masih sambil anteng dengan ponselnya.

            Sambil menunggu cuciannya selesai berputar, Sasi merenung. Ia tidak pernah menyesali pernikahannya. Eh, tunggu sebentar, bukan tidak pernah. Ada beberapa kali Sasi menyesali. Dia tahu harusnya dia akhiri selagi belum terlambat.Tapi entah kenapa tidak pernah terlaksana. Ia merasa jahat jika alasannya berpisah adalah karena alasan ekonomi. Toh Sasi masih bisa membantu perekonomian keluarga, meskipun akibatnya ia terjebak dalam lingkungan kantor yang toksik. Pun jika alasannya soal sikap Mas Danang yang seperti tamu di rumah orangtuanya, Sasi memiliki keyakinan bahwa suatu saat Mas Danang akan berubah, ia yakin itu. Juga bagaimana dengan orangtuanya nanti? Jika Sasi memutuskan untuk berpisah dari Mas Danang, hanya akan menambah beban pikiran orangtuanya. Belum omongan tetangga, dan teman-teman. Belum lagi rasa sayang yang bercampur dengan kasihan. Aah, tapi sungguh, bukan seperti ini kehidupan pernikahan yang ia bayangkan dulu. Sasi menghela napas. Putarannya sudah selesai, ia lantas mengambil ember dan bersiap menjemur.

*

            “Kayaknya aku gak akan bisa ke mana-mana, Nay.” Sasi memutar-mutar sedotan di gelas es teh-nya. Mereka berdua masih berada di ruang rapat membuat anggaran biaya riset.

            “Eh, gimana gimana? Coba diulangi?” Nayla berhenti mengetik dan menggeser laptopnya.

            Sasi menatap Nayla.

            “Iya Nay, aku gak akan bisa ke mana-mana. Gak akan bisa cari beasiswa ke luar negeri, gak bisa resign, harus menerima kehidupan pernikahanku dengan Mas Danang. I’m not going anywhere, Nay. Never. Aah!” Matanya mulai panas. Sasi menunduk.

Nayla terdiam. Celingak celinguk memastikan tidak ada orang lain selain mereka berdua.

Nayla dan Sasi sudah bersahabat sejak lama. Nayla kenal Sasi dengan segala potensi dirinya. Nayla sangat tahu seluk-beluk kehidupan sahabatnya itu. Ia paham alasan-alasan di balik kalimat Sasi barusan. Meskipun Sasi tidak selalu bercerita, Nayla tahu. Ini bukan hal yang mudah untuk direspon. Nayla melihat Sasi sebagai seorang perempuan muda yang memiliki banyak mimpi. Dari awal kenal sampai sekarang, Sasi berkembang sangat pesat. Namun ia terjebak dalam kehidupan yang menurut Nayla menghambat kemajuan dirinya. Nayla ingin Sasi memperjuangkan hidupnya. Dengan apapun yang Sasi miliki. Tapi tampaknya sekarang tidak demikian. Sasi tampak sudah siap untuk menyerah.

“Kenapa kamu gak memperjuangkan mimpimu? Kenapa kamu menyerah sekarang?”

Sasi tidak menjawab. Ia tahu respon Nayla akan menusuk. Nayla memiliki hobi yang aneh. Suka memaparkan kenyataan yang ingin Sasi hindari.

“Selesaikan satu-satu, Sasi. Seperti selama ini kamu menyelesaikan masalah-masalah di kantor.”

“Enggak, Nay. Ini beda. Can’t you see? Ini beda sama masalah kantor. Ini berkaitan dengan orangtuaku, dengan keluargaku. Harus ada yang dikorbankan, dan aku nggak mau orangtuaku yang berkorban untuk aku. Sudah cukup lah. Aku juga nggak bisa sewaktu-waktu resign kayak kamu. Banyak yang harus kupertimbangkan.” Sasi berapi-api.

“Kamu kan bisa ngomong baik-baik sama mereka, Si. Cerita aja masalahmu gimana, mimpi-mimpimu apa, jangan semuanya kamu pendam sendiri, Si”

“Mimpiku, Nay? Is that even matter?”

Nay terhenyak.

“Saat ini, rasa-rasanya memikirkan mimpi dan keinginanku bukan lagi sesuatu yang urgent, Nay. Sudah sampai situasi yang begini ini, kayaknya kok egois ya memikirkan diri sendiri. Aku sadar sih Nay, udah saatnya aku memikirkan diri sendiri, tapi kalau aku pergi, banyak yang akan jadi kacau.”

Nay menelan ludah. Ia mendadak haus. Tangannya menggapai gelas berisi es kopi susu.

“Kayak belum saatnya aja sih. Nggak sekarang. Mungkin nanti, tapi nggak sekarang. Aku percaya Nay, kesempatan pasti akan datang lagi. Dan ketika kesempatan itu datang, aku akan langsung menyambutnya.”

Nay mengangguk-angguk meskipun hati kecilnya tidak merasa yakin.

“Kamu kecewa ya Nay?”

Nay hampir tersedak. Di saat seperti ini masih saja Sasi memikirkan orang lain. Di saat dia baru saja mengubur mimpi-mimpinya.

“Kamu tu nggak usah mikirin aku, Sasiii. I’m fine, totally fine. Aku akan selalu di sini, mendengarkan cerita-ceritamu meskipun udah nggak satu kantor lagi. Aku cuma pengen kamu happy, that’s all.”

“Yah, aku happy kok. Meskipun naik turun. Tapi happiness itu kan emang dinamis ya, jadi aku nikmati aja yang ada saat ini.” Sasi tersenyum. Senyum yang menjadi bungkus semua perasaan kacau balaunya.

Sungguh, Nay ingin membantu jika bisa. Jika Sasi mau. Sayangnya Sasi tidak mau. Ia merasa masih bisa menghadapi semua masalahnya, meskipun itu berarti mengorbankan dirinya sendiri. Meskipun itu berarti pundaknya menanggung beban yang begitu berat.

Nurina Wardhani

Related posts:

Nurina Wardhani
Latest posts by Nurina Wardhani (see all)
Bagikan:

Nurina Wardhani

Aquarian. Co-founder Ninanoci, sebuah toko buku anak dan penyedia workshop anak. Aktif menulis untuk diri sendiri di blog dan bersyukur kalau dibaca orang. Hobi membeli buku meskipun dibacanya baru satu bulan kemudian. Antusias kalau diajak ngobrol seputar isu perempuan, pendidikan, kerelawanan, pengelolaan SDM di organisasi nirlaba, dan social enterpreneur. Tinggal di Bantul bersama suaminya yang nyebelin tapi ngangenin serta anaknya yang hobi bertanya tentang apapun.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *