Perempuan Bisa Menjadi Apapun yang Ia Inginkan, Termasuk Meraih Gelar Doktor dan Memberikan Manfaat
“Aku seorang pemimpi. Aku hidup dengan banyak harapan. Karena aku yakin, masa depan itu seperti sekumpulan tempe dan bakwan (tidak ada yang tahu). #okesip”
Ya, aku adalah seorang pemimpi. Mimpiku banyak, dari yang sederhana sampai yang muluk-muluk. Sesederhana bercengkerama dengan anak-anakku saat sore menjelang malam hari, dan semuluk-muluk menjadi profesor di bidang ilmu komputer. Aku memilih hidup untuk menjalani sesuatu yang baru, dan itu memang sulit pada awalnya. Terus terang, sejak kuliah S3, aku sudah lupa bagaimana caranya tertawa. Bagaimana bisa tertawa, sedangkan aku harus menjalani permulaan penelitian panjang, yang serius, sangat serius bahkan. Aku ini calon doktor, harus menghasilkan suatu karya yang bermanfaat dan itu bisa tidak dijalani dengan mudah. Aku harus bergelut dengan ratusan paper, puluhan buku teks dan prosiding untuk mengungkapkan sebuah teori baru, penemuan baru, metode baru. Dengan sikapku yang grusa-grusu, bras-bres, cengengesan, jauh sekali dengan keseharian yang aku jalani akhir-akhir ini, membuatku, tanpa terasa, kadang merasa stress, dan akhirnya tepar (pernah masuk rumah sakit).
Keputusanku untuk kuliah S3 menurut beberapa orang yang tidak mengenalku dengan baik, dianggap sebagai usaha yang ambisius pada peningkatan jabatan. Mereka menganggap aku hanya memikirkan kepentingan karirku, dan mengabaikan kewajibanku mengantar anak-anak menuju kesuksesan studi mereka. Ada yang menyindir, percuma ibunya profesor sekalipun, kalau anaknya sampai tidak lulus SD.
Rasanya kok egois ya, egois sekali, kalau ada yang bilang, perempuan studi lanjut hanya demi meningkatkan karir. Ah, sesederhana itukah? Buat apa karir menanjak, jabatan di tangan, kalau hati tak bahagia? Aku yakin cita-citaku lebih jauh dari sekadar karir. Bukan, bukan itu! Ini demi anak bangsa, dan kebermanfaatan hidup, bukan yang lain. Aku ingat nasihat ibuku seperti ini:
Nak, jadi orang baik itu mudah!
Kau tak usah mabuk, jangan mencuri, banyak
beribadah, maka kau akan jadi orang baik.
Bahkan hanya dengan diam, semua akan tampak baik.
Yang sulit itu jadi orang yang bermanfaat!
Kalau kau rajin sholat, kau jadi baik untuk dirimu sendiri, tapi kalau kau cucikan mukena di masjid, membersihkan lantainya, membangunkan orang untuk sholat, itu baru bermanfaat.
Kalau kau rajin belajar dan tidak mencontek, kau baru jadi orang baik, tapi kalau kau berikan lagi ilmumu, memotivasi orang lain, dan memberikan kasih sayangmu, itu baru bermanfaat.
Kalau kau mengasuh anakmu dengan baik, mengajarnya berbagai macam ilmu dan kebaikan, kau baru jadi orang baik untuk dirimu dan keluargamu, tapi, kalau kau sebarkan kebaikan untuk anak orang lain, itu baru bermanfaat.
Hidupmu harus bermakna!
Demi sebuah kebermanfaatan hidup, aku rela memberikan waktuku untuk mengajarkan ilmu dan kebaikan pada anak-anak orang lain, selain mendidik anak-anakku sendiri. Bagiku, diterimanya sebuah pengetahuan baru, membuat aku lebih bernilai. Oleh karena itu, aku harus selalu meng-upgrade kualitas diri, agar aku dan mereka bisa saling mengisi, saling mendukung, dan saling melengkapi dalam kapasitas sebagai manusia yang sama-sama belajar. Belajar dari universitas kehidupan.
Kehidupanku sebagai kandidat doktor menuntutku untuk sering bolak-balik dari kota tempat studi ke kota asalku. Urusan membagi waktu menjadi hal yang rumit, ketika deadline tugas-tugas kuliah yang harus diselesaikan, dengan tugas-tugas sebagai ibu yang tidak pernah ada habisnya. Aku bahkan sering melewatkan momen-momen penting perkembangan fisik dan psikis anak-anakku. Kemajuannya dalam belajar dan bersosialisasi seringkali tidak aku respon dengan baik. Tak dapat dipungkiri, aku hanyalah seorang ibu yang hendak belajar dari kehidupan. Termasuk belajar membagi. Setiap ujung Minggu sepulang kuliah dari luar kota, Adik Lilo sudah merengek-rengek minta diajak bermain, disuapi makan, sampai ditemani tidur. Dan jika Kakak Hira merengek minta dibuatkan susu, ditemani belajar dan membaca buku, kini ia harus menunggu sampai aku selesai mengurusi adiknya. Tak jarang, Mbak Uno dan Kakak Hira sampai tak kebagian waktu, hingga mereka tertidur dan terbangun keesokan paginya.
Kelelahan fisik dan pikiran sering membuatku kesal akan rengekan anak-anak. Sehingga kesalahan kecil seperti Kakak Hira menumpahkan susu, Mbak Uno mandi terlalu singkat, mereka berdua menggoda Adik Lilo, membuat emosiku melambung tinggi dan kadang sampai keluar kata-kata kemarahan, bentakan, bahkan cubitan kecil mendarat di bokong kecilnya. Aku sadar, aku pun tak ingin lagi kehilangan masa-masa di mana aku dan anak-anak bisa saling berinteraksi, berbicara dari hati ke hati, belajar, dan bermain, mumpung belum terlanjur. Oleh karena itu, jika di awal-awal kuliah, aku masih sering mengisi seminar, ikut kongkow-kongkow arisan, ikut acara ini-itu. Kini aku sudah meninggalkan semua aktivitas itu. Aku memilih untuk menemani anak-anak di penghujung Minggu. Kami nonton film bersama di bioskop, makan bersama di restoran, bermain bersama di rumah, berjoged di depan kaca bersama-sama, membuat kue, membuat proyek seni, mendongeng, main kartu, dan sebagainya.
Kuliah S3 memang berat, tapi Insya Alloh aku akan menjalaninya dengan baik. Tahun 2019 ini merupakan tahun ketigaku di UGM, di mana kontrak perjanjian ikatan dinas dengan yayasan tempatku bekerja akan segera habis. Oleh karena itu di tahun penuh pengharapan ini, aku ingin segera menyelesaikan S3-ku. Aku ingin segera bisa kembali ke masyarakat, ke kampus asalku, untuk segera memberikan sedikit ilmu yang aku punya. Sekali lagi, demi kebahagiaan jiwaku, demi kenaikan kelas, bukan sekadar menjadi orang baik, tapi juga menjadi orang bermanfaat. Doakan!
Tenia Wahyuningrum
- Sepenggal Kisah Kereta Senja - Januari 31, 2020
- Toxic Positivity: Kalimat Positif yang Kadang Bikin Sensitif - April 22, 2019
- Anakmu Bukanlah Milikmu, Mereka Memiliki Jiwa, Pemikiran, dan Cerita Mereka Sendiri - Januari 12, 2019