SAKIT TAK BERDARAH, PEREMPUAN TANPA DUKUNGAN SOSIAL DARI LINGKUNGANNYA: REFLEKSI ATAS FENOMENA FELICIDE
Kabar tidak menyenangkan itu datang dari Brebes, Minggu, 20 Maret 2022. Seorang ibu menggorok anak kandungnya, 1 tewas, 2 dilarikan ke rumah sakit. Kejadian semacam ini bukan hanya terjadi kali ini saja, tetapi sudah ke sekian kalinya. Kompas.com melaporkan seorang ibu di Bandung membunuh anaknya yang baru berusia 3 bulan pada bulan September 2019. Juga Detik news yang mencatat kejadian di bulan Desember 2020, seorang ibu di Nias Utara menggorok 3 anak kandungnya hingga tewas.
Untuk memperpanjang daftarnya, Ikhwan Hastanto mencatat melalui Vice Indonesia sederet kasus serupa yang terjadi dari tahun ke tahun: Surabaya pada 2012, Bojongsoang pada 2012, Cakung 2013, Bandung pada 2014, Jakarta Barat pada 2017, Ogan Komering Ulu dan Manado pada 2018, Jakarta Barat pada 2019, dan Surabaya pada 2021. Fenomena orangtua membunuh anaknya memiliki istilah Felicide atau Filisida. Sementara, perilaku yang menyebabkan hilangnya nyawa seseorang sudah diatur secara hukum dalam KUHP.
Sedihnya, seringkali pada kasus seperti ini, si ibu lah yang disalahkan, dianggap sebagai orangtua gagal, orangtua gila, orangtua tidak punya hati, dan penghakiman-penghakiman negatif lainnya yang dilekatkan padanya. Ada hal yang selalu terlupakan (atau dilupakan) yaitu bahwa ibu yang melakukan felicide tidak pernah dilihat berposisi sebagai korban juga. Korban dari kekerasan struktural dengan beban berlapis yang diterimanya. Misalnya kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan sosial, dan bahkan kekerasan fisik yang dialaminya, termasuk juga kejadian kekerasan yang dialami di masa lalu yang memunculkan trauma mendalam bagi si ibu.
Ironis, berbagai sumber mengutip alasan tragedi di Brebes ini terjadi karena si ibu tak mau anaknya hidup melarat dan ditekan keluarga seperti yang selama ini ia alami. Alasan tersebut mengandung 2 premis. Pertama, si ibu tidak mau anaknya hidup melarat. Ibu ini jelas menyayangi anaknya dengan maksud ia tidak ingin anaknya mengalami hal yang tidak menyenangkan dalam hidup. Tidak menutup kemungkinan dalam situasinya ini, si ibu mengalami berbagai bentuk kekerasan. Hal tersebut muncul sebagai naluriah seorang ibu untuk melindungi anaknya. Sayangnya, pilihan tindakan si ibu adalah melakukan kekerasan kepada anak-anaknya dengan cara meregang nyawa mereka.
Hal ini tentu tidak terlepas dari premis yang kedua, si ibu mengalami tekanan dari keluarganya. Ada keabsenan peran keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam memberikan dukungan sosial bagi seorang ibu dalam mengasuh anak. Ketika peran ini hilang, tentu beban seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya menjadi semakin berat. Ia bagaikan semut memikul batu berpori lalu terjepit di antara celahnya. Sudah tidak kuat, sesak karena napas tersengal, masih terjepit pula.
Pemicu lainnya adalah situasi ekonomi yang carut marut. Padahal informasinya, ibu ini pernah memiliki usaha, yang artinya sebenarnya ia perempuan yang berdaya secara ekonomi. Permasalahan ini bukanlah hal yang sepele. Terkadang seorang ibu memilih tidak bekerja karena ia memprioritaskan diri untuk mengasuh anaknya. Pilihan ini ketika minus dukungan dari pasangan dan keluarga tentu akan menjadi bumerang tersendiri. Bagaimana memikirkan mencukupi kebutuhan sehari-hari yang tentu membutuhkan dukungan finansial. Rasanya seperti terjebak dalam labirin yang luasnya ratusan hektar, sangat sulit rasanya keluar dari labirin permasalahan tersebut.
Fenomena felicide ini memunculkan kekhawatiran saya terhadap perempuan dengan berbagai situasinya yang merujuk pada 2 hal. Pertama, memunculkan trauma mendalam sebagai sesama perempuan. Tentu menjalankan peran sebagai ibu bukanlah hal yang mudah. Dinamika kehidupan serta banyaknya sumber pemicu sangat berpotensi membuat perempuan berada pada situasi krisis. Saya khawatir perilaku felicide ini menjadi sebuah referensi atau rujukan bagaimana perempuan yang menghadapi situasi serupa mengatasi permasalahannya. Padahal sudah jelas felicide bukan opsi, bukan solusi, bukan pula hal yang dibenarkan, bahkan jelas melanggar hukum. Dari seluruh rangkaian peristiwa felicide yang terjadi, saya meyakini fenomena bukanlah suatu hal tanpa sebab. Ada beberapa pola di mana sang ibu pun bunuh diri setelah membunuh anak-anaknya.
Kedua, saya mengkhawatirkan trauma pada anak. Berdasarkan pengalaman hidup saya, saya masih bisa mengingat detail beberapa kejadian kurang menyenangkan yang saya alami saat saya berusia 3 atau 4 tahun. Pengalaman tidak menyenangkan akan terekam dengan baik di memori anak. Tentu luka tak berdarah seperti ini bukanlah hal yang mudah untuk dilupakan ataupun dianggap berlalu begitu saja. Luka itu membekas, menempel, dan beberapa kejadian tidak menyenangkan selanjutnya akan berperluang untuk memperdalam ataupun memperluas luka itu.
Bahkan tidak menutup kemungkinan, kekerasan yang dialami si anak ini akan menjadi sebuah rantai kekerasan selanjutnya. Hal ini tentu akan berpengaruh pada bagaimana tindak-tanduk si anak dalam proses tumbuh kembangnya. Misalnya dalam berinteraksi dengan teman sebayanya, berelasi dengan orang lain, hingga pada isu kepercayaan diri dan kepercayaan terhadap orang lain. Diperlukan intervensi yang tepat untuk membantu si anak mem-filter informasi dan memilih tindakan dalam kehidupan sehari-hari atas kejadian tidak menyenangkan yang pernah dialaminya tersebut.
Faktor ekonomi bisa jadi adalah faktor yang penting. Namun kita tidak boleh melupakan bahwa ada banyak sekali pemicu di luar faktor ekonomi yang sering tidak kita sadari sebagai pemicu. Sebut saja faktor hantu, tidak nampak tetapi selalu ada. Apa saja faktor hantu tersebut?
Pertama, hilangnya empati atas situasi yang menimpa perempuan. Bullying, kompetisi antar-perempuan, menyamaratakan perasaan perempuan, meremehkan situasi perempuan, menyalahkan perempuan ketika ada beban domestik yang tidak terpenuhi, dan membanding-bandingkan segala proses kehidupan perempuan. Terkadang perempuan yang ingin berbagi cerita serta mengumpulkan energi yang besar atas kegelisahan atau pengalaman tidak menyenangkan yang dialaminya, didengar oleh sesama perempuan tetapi malah kemudian dihakimi.
Kedua, membandingkan anak satu dengan anak lain. Mengkritik pola asuh dengan cara menyalahkan. Melabeli anak nakal karena karma orangtua. Mem-bully baik ke anak, ke sesama perempuan, ataupun ke keluarga.
Ketiga, ketiadaan dukungan sosial dari orang-orang terdekat. Orangtua, keluarga, tetangga, saudara, teman, kolega memiliki peran penting dalam memberikan dukungan sosial. Seringkali pola yang terjadi adalah mereka sama-sama menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, tetapi kurang atau bahkan tidak mampu melakukan pengelolaan emosi dan menyaring ucapan serta tindakan sehingga berpeluang menyakiti dan/atau melakukan berbagai bentuk kekerasan kepada orang-orang di sekitarnya, alih-alih untuk saling mendukung.
Hal yang menurut saya perlu kita refleksikan bersama adalah jangan-jangan kita pernah bertindak atau berlisan yang membuat seorang perempuan atau seorang ibu di sekitar kita menjadi tertekan, hingga kita menjadi bagian yang menyumbang kejadian-kejadian yang berujung pada kekerasan itu?
Sekuat apapun perempuan, tanpa dukungan sosial dan lingkungan yang supportive, ia menjadi rentan. Manusia punya batasan yang berbeda-beda pada daya lenting dalam menghadapi sesuatu. Perempuan yang hidup tanpa dukungan sosial apalagi ditambah berada pada lingkungan yang tidak supportive terhadap situasi perempuan adalah sakit yang tak nampak.
Irma Pudyas