Saya dan Ibu Saya

Menurut saya, ibu saya, seperti halnya anak lain memandang ibu mereka, adalah perempuan yang luar biasa. Adalah sah sepertinya jika kita memuji ibu kita masing-masing dan menempatkannya sebagai malaikat dalam hidup kita, karena memang mungkin ibu adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk melahirkan, membesarkan, dan mencintai kita sampai akhir hayat. Ibu saya, di mata kami anak-anaknya, adalah sosok yang penuh semangat dan ekspresif. Beliau memiliki banyak sekali cinta untuk dilimpahkan kepada anak-anaknya dan keluarganya. Beliau adalah seorang pekerja keras serta menyukai kesibukan dan aktivitas. Beliau juga saya kenal sebagai perempuan yang sederhana, ceria, dan penuh ekspresi. Kejadian apapun, entah menyebalkan, menakutkan, mengharukan, ataupun memicu kemarahan, jika ibu saya yang bertutur, akan berubah menjadi sesuatu yang memancing kami untuk tertawa. Terkadang beliau memandang dunia dengan begitu polos, dengan kacamata yang begitu sederhana, sehingga terkadang saya berpendapat bahwa ibu saya tidak cocok hidup di kota besar yang penuh ambisi dan ketidakpastian. Ibu saya adalah ibu saya di mana saat ini beliau berada, lahir, dan dibesarkan di kota kecil dalam lingkungan yang biasa-biasa saja, tidak neko-neko, tetapi bahagia.  

Ibu saya tidak suka memasak. Beliau tidak telaten dengan segala urusan dapur. Dan meskipun masakan ibu saya tergolong tidak terlalu istimewa, tetapi, seperti hampir semua anak di dunia, saya selalu merindukan hasil olahan ibu, sop sayuran dengan sambal pedas, tempe goreng, ikan asin. Ibu saya juga tidak terlalu menikmati pekerjaan beberes rumah seperti menyapu atau mengepel. Tetapi, beliau sangat hobi menyetrika. Sampai sekarang, jika kebetulan saya sedang ada di rumah, ibu melarang saya untuk menyetrika, karena menurut beliau itu adalah “hobiku, aku bahagia kalau menyetrika”. Ibu saya, seperti halnya banyak perempuan lain (termasuk saya), hobi berbelanja, atau sekadar window shopping, entah membeli atau tidak. Beliau juga sangat hobi membeli dompet dan mukena. Koleksinya mungkin ratusan, belum termasuk yang sudah dihibahkan karena sudah tidak memiliki tempat lagi untuk menyimpan. Ibu saya juga sangat suka telur. Apapun itu: telur ceplok, telur dadar, telur asin, telur rebus, telur semur, telur setengah matang, bakal telur, telur ayam, telur bebek, telur puyuh, telur ikan. Jika disuruh memilih antara daging atau telur, dengan tanpa ragu ibu saya pasti memilih telur, makanan yang menurut beliau paling enak sedunia.  

Ibu saya adalah seorang perempuan bekerja. Pekerjaannya di rumah sakit membuat ibu saya tidak bisa selalu hadir untuk anak-anaknya. Saat musim ujian, hanya sekali dua ibu menemani kami belajar. Saat kami sakit, lebih sering si embak atau ayah kami yang stand by menjaga. Ibu saya juga jarang menemani kami tidur sambil membacakan buku cerita seperti yang sering kami lihat di film (ataupun dilakukan oleh ibu lain di dunia), karena pekerjaannya menuntut beliau untuk terkadang harus bekerja dengan shift malam. Meskipun begitu, tidak pernah sekalipun kami merasa bahwa beliau tidak mencintai kami dan lebih mengutamakan pekerjaannya daripada anak-anaknya. Bahkan, kami merasa bangga memiliki ibu yang bisa bermanfaat untuk orang lain, karena seperti yang ibu kami pernah bilang setiap kali kami merajuk untuk ditemani, “ada banyak anak-anak dan nenek-nenek di rumah sakit yang sedang sakit yang butuh pertolongan ibu”.  

Ibu menyayangi kami dengan caranya. Beliau memanjakan kami dan memenuhi setiap kebutuhan kami, tetapi juga memarahi dan mengomeli kami. Sepanjang menjadi anaknya, adalah bohong jika saya berkata bahwa kami selalu memiliki hubungan yang harmonis dan ideal. Terutama zaman ketika saya menginjak masa remaja, masa yang kata orang adalah saat di mana kita mencari jati diri dan sedang kebingungan mengenai siapa kita, apa yang kita mau, dan apa yang harus kita lakukan atau tidak kita lakukan. Hampir setiap hari saya berkonflik dengan ibu saya. Tidak selamanya ibu saya sabar menghadapi saya atau sambil mengelus dada berkata manis setiap kali saya berbuat hal yang tidak sesuai dengan kehendak beliau –saya tahu banyak ibu yang seperti itu. Seringkali ibu saya akan menghujani saya dengan omelan panjang sampai berjam-jam lamanya. Beberapa kali, menurut saya, beliau marah besar hanya untuk alasan kecil yang tidak masuk akal, yang dulu sering membuat saya berpikir bahwa beliau tidak mencintai saya seperti seharusnya. Membuat saya berpikir untuk kabur dari rumah. Dulu, menurut saya, beliau terlalu banyak aturan, terlalu mengekang, terlalu menginginkan saya untuk menuruti apa kata beliau, sesuatu yang seringkali diatasnamakan sebagai “demi kebaikanmu”. Yang sayangnya, saya tidak paham di mana letak “kebaikan” tersebut, seperti misalnya di mana salahnya ketika saya memilih untuk aktif berorganisasi, atau mendaki gunung, atau hal-hal lain yang bagi orangtua diindikasikan sebagai “kenakalan” dan hampir selalu berujung pada pertengkaran. Ya, pada masa itu, saya menganggap ibu saya terlalu mengatur, pencemas, tukang marah, dan tidak pernah berusaha mengerti dan mempercayai saya, sementara bagi beliau saya adalah anak yang keras kepala, pembangkang, dan sulit diatur. 

Semakin saya bertambah usia, saya semakin bisa memandang ibu dengan cara yang berbeda. Mungkin begitu juga dengan ibu saya. Konflik-konflik tersebut, walaupun kadang masih terjadi sampai sekarang, dapat kami atasi dengan lebih sederhana. Saya juga semakin sadar kalau banyak sekali kemiripan antara saya dan ibu saya, baik yang diturunkan secara genetik maupun tidak. Banyak sekali sifat dan kebiasaan ibu saya yang ternyata juga ada pada diri saya, seperti misalnya hobi kami menonton bioskop, yang kata ibu saya bisa dilakukannya sampai seminggu 2 kali ketika beliau masih muda dulu. Juga kebiasaan beliau sering berganti-ganti baju, yang bisa lima kali dalam sehari. Atau ketidaksukaan beliau terhadap bau makanan di dalam kamar. Atau kesukaannya terhadap warna hijau, hobinya memakai daster longgar, ketidaksukaannya pada minuman panas, dan masih banyak lagi.

Di atas segalanya, saya juga semakin sadar tentang betapa cintanya ibu pada kami, anak-anaknya, dan betapa perjuangannya membesarkan dan mendidik kami adalah sebuah pengorbanan dan kesabaran yang luar biasa. Kami berkali-kali membuatnya kecewa, marah, sedih, cemas, jengkel, tapi berjuta-juta kali pula beliau memaafkan kami dan tetap mencintai kami. Tanpa berkurang sedikitpun rasa cintanya. Tanpa berkurang sedikitpun perjuangan beliau untuk memberikan yang terbaik bagi kami. 

Ibu saya, mungkin sama seperti semua ibu lain di dunia. Ibu saya juga hanyalah perempuan biasa pada umumnya, yang cerewet dan kadang sangat penuntut, yang kadang bergosip dan mengeluh, tapi bagi kami anak-anaknya, beliau adalah istimewa, beliau adalah ibu paling ideal di seluruh dunia, yang terbaik bagi kami. Kami bersyukur terhadap bagaimana cara beliau mendidik kami dan menjadikan kami seperti saat ini. Sampai sekarangpun, saya masih sering merindukan omelannya, baik langsung ataupun melalui telepon, mengenai baju saya yang tidak rapi, kamar yang berantakan, makanan yang kurang sehat, hidup yang boros, ibadah yang tidak teratur, atau keluhan-keluhan lain tentang kami, wujud kasih sayang dan kepedulian beliau terhadap kami anak-anaknya. Saya juga merindukan saat-saat di mana ibu saya selalu minta dipijat di bagian kaki, yang berakhir dengan obrolan panjang menceritakan segala hal dengan cara beliau yang khas: lucu dan sederhana, yang kemudian akan ditegur oleh bapak saya dengan, “senengane ngrasani, nggosip ra entek-entek”.

Selamanya kami tidak akan pernah bisa membalas segala kebaikan dan kasih sayang yang beliau berikan kepada kami sepanjang hidup. Beliau adalah rahim yang selalu memberikan perlindungan, cinta, dan kehangatan. Sehebat apapun kami nantinya, selamanya kami akan selalu membutuhkan dan merindukan kasih sayang ibu, seperti yang selalu beliau katakan, “sampai tua pun kamu tetap anak ibu selamanya”. Tidak ada yang bisa mengubah itu, tidak juga kami.

Sugeng tanggap warsa Ibu, sehat selalu. Kami mencintaimu.  

Sukmo Pinuji

Sukmo Pinuji
Latest posts by Sukmo Pinuji (see all)
Bagikan:

Sukmo Pinuji

I believe that I was born to be a traveller and a lifetime learner – dan sampai saat ini ibu satu anak ini masih percaya pada hal tersebut! Doyan jalan dan selalu merasa excited ketika menemukan hal baru, mengamati, mempelajari, dan menuliskannya (dalam artikel maupun dalam hati), saat ini dia merasa sangat beruntung karena pekerjaannya sebagai seorang researcher memberinya keleluasaan untuk menyalurkan hobi abadinya tersebut. Sangat menjunjung tinggi kesetaraan gender, dia juga adalah seseorang yang percaya bahwa setiap perempuan – dari manapun dia berasal dan seperti apapun latar belakangnya, memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi apapun yang dia mau, selama dia memiliki keberanian, kepercayaan diri, tekad kuat, dan konsistensi untuk mewujudkan mimpi-mimpinya!

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *