Tenang, Badai Pasti Berlalu
Banyaklah belajar dari orang yang lebih tua. Banyaklah mendengar dari orang yang lebih dulu ada. Banyaklah mengambil pelajaran dari kisah hidup mereka. Itu yang aku lakukan. Bagaimanapun, seseorang yang lebih dahulu dari kita, biasanya lebih banyak tahu. Lebih banyak makan asam garam. Ya orangtua kita, guru kita, atau juga senior kita di kantor.
Satu hal yang membuat aku takjub pada kedua orangtuaku adalah ketenangannya dalam menjumpai suatu hal besar yang mungkin akan mengubah seluruh hidup kami.
Suatu hari di bulan April tahun 1985, papa mengajakku dan kakak tertuaku ke daerah Pecinan. Kalau aku tak salah ingat, kami membeli roti tawar, keripik singkong, dan arum manis kesukaanku. Di sana, kami bertemu beberapa tetangga. Papa selalu menyapa mereka dengan senyumnya yang menawan.Kami naik vespa kesayangan.
Pulang menuju ke rumah. Tiba di depan gang rumah kami, entah apa yang terjadi. Sebuah benturan keras membuatku melayang menghantam tiang listrik di pinggir jalan. Aku pusing. Kakakku sempat memegangku saat kami terlempar. Tapi aku tak mendengar suara papa. Dan mataku mencarinya. Papa tergeletak di jalan. Seperti tidur. Darah membasahi arum manisku, yang perlahan berubah bentuk. Papa… bangun Pa…!!!
Entah apa yang terjadi. Yang aku tahu, banyak orang berhamburan ke jalan mendengar suara benturan tadi. Salah seorang tetanggaku menggendongku, dibawanya aku ke rumah tetanggaku yang lain. Aku didendangkan lagu “Kidang Talung” sambil tangannya membentuk bayangan seekor kijang di dinding berlampu temaram. Sesaat, aku lupa apa yang baru saja terjadi.
Saat aku pulang ke rumah. Hari-hari berikutnya menjadi berbeda. Aku lihat mama sibuk sekali. Mengurus ini dan itu. Mama sering keluar rumah dan papa tak ada. Tetangga dan keluargaku datang silih berganti untuk menemaniku.
Akhirnya aku tahu. Papa dirawat di rumah sakit. Gegar otak berat dan patah tulang. Ternyata benturan itu datang dari sebuah motor yang entah bagaimana pengendaranya tak kuasa mengendalikannya. Dihantamnya vespa kami dari belakang. Sangat kuat. Sampai aku dan kakakku terlempar. Papa yang berusaha menguasai kendaraannya, tak kuasa.
Bulan demi bulan berlalu. Di situlah aku banyak belajar. Mama begitu tenang. Setiap hari mendampingi papa di rumah sakit. Berjuang untuk bangun dari lelapnya. Berjuang untuk bisa sadar. Belajar untuk bisa melihat. Belajar untuk menahan sakit dan pusing yang luar biasa. Belajar untuk menggerakkan sedikit demi sedikit jemarinya, kepalanya, dan badannya. Hitungannya bukan lagi jam dan hari, tapi sudah hitungan bulan.
Mama selalu yakin, badai pasti berlalu. Apapun yang akan terjadi nanti, tapi hari ini harus dihadapi.
Bayangan akan kehilangan pekerjaan karena papa tidak bisa masuk kantor dalam jangka waktu lama. Bayangan papa akan terbaring saja, karena gegar otak berat yang dialaminya. Bayangan akan jadi apa ketiga anak yang saat itu masih belia dan bagaimana masa depannya. Bayangan kesulitan mencari pekerjaan lagi karena papa menggerakkan tangan saja tak bisa.
Sampai beberapa bulan kemudian saat perlahan berangsur pulih. Papa belajar tanda tangan dengan tangan kiri untuk kemungkinan terburuk di kemudian hari. Itu hal yang pertama papa lakukan. Walau sakit dan pedih, papa tahu. Papa harus bisa paling tidak menandatangani dokumen-dokumen penting.
Mama tetap tenang menghadapi semua itu. Mama tetap tenang mendampingi papa. Ketiga anaknya yang masih kecil tetap terurus. Mama kesana-kemari naik becak. Bolak-balik ke rumah sakit dan konsultasi dengan banyak dokter. Semua dijalani dengan tenang. Kamipun ikut tenang.
Sudah lebih dari tiga dekade berlalu. Semua penggalan-penggalan cerita itu makin tampak nyata di benakku. Alhamdulillah, kami berlima masih sehat. Papa dan mama pun masih bisa bermain bersama ketujuh cucu mereka.
Sungguh, ketenangan mama itu juara. Keyakinannya tak terbantahkan. Bahwa ALLAH tidak akan memberikan beban di luar kemampuan hamba-NYA. Tenang, badai pasti berlalu.
Aprilia Palupi
- Tenang, Badai Pasti Berlalu - Januari 21, 2019