THE FALCON AND THE WINTER SOLDIER SERIES: NO SUPERHERO JUST HUMAN, AND THERE’S NOTHING WRONG ABOUT THAT!
Sutradara serial The Falcon and The Winter Soldier (TFATWS) itu perempuan, pantes ya superhero-nya dijadiin human semua, human with all their complexity, with all their problem, with all their flaws, dan tentu saja juga ceritanya jadi lebih membumi dan relatable. Selain itu, kita juga diajak untuk mengenal Sam Wilson dan Bucky Barnes secara personal dan mendalam sehingga akhirnya bisa lebih memahami pilihan dan tindakan hidup mereka. Well, cara-cara perempuan memang seperti itu kok, hehehe. Keren deh, I love it very much. Mana sang sutradara udah nenek-nenek pula, keren banget ya, my God, awesome!
Makanya aku agak heran ketika ada beberapa fans Marvel yang protes kok Bucky sekarang kekuatan supernya tidak sedahsyat dulu di film-film Marvel sebelum serial TFATWS ini. Ya tentu saja lah! Kan dulu Bucky practically a killing machine, sebuah mesin pembunuh, yang dicuci otaknya dan tidak memiliki kuasa serta kontrol atas tubuh dan pikirannya sendiri, ya tentu saja dia sekuat itu, wong mesin.
Nah di serial ini, dia baru saja menjadi manusia lagi yang kembali memiliki kontrol dan kuasa atas tubuh dan pikirannya. Ditambah lagi dia harus dealing dengan hal-hal “manusia banget” lainnya, like twisted feeling; rasa bersalah, rasa marah, rasa bingung, rasa kesepian, rasa sedih, ingin mencari makna hidup, ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat, ingin memiliki teman/keluarga, you know lah, HUMAN, like us, ribet dah pokoknya, hahaha. Kalau mesin mah kan ngga akan diribetkan dengan hal-hal semacam itu.
Jadi Marvel ini bukannya tidak konsisten dengan karakter Bucky, tapi justru sebaliknya, sangat-sangat konsisten. Character development-nya dapat banget.
Sam sendiri sebagai Captain America yang baru juga digambarkan lebih manusia banget dan lebih membumi, tidak seperti Steve Rogers Captain America sebelumnya yang you know lah cerita dramatis kehidupannya yang wow banget. Sam berasal dari kaum minoritas, dilahirkan dan dibesarkan di kawasan yang terpinggirkan, tidak berambut pirang dan tidak bermata biru, dan yang terpenting dia tidak mengonsumsi serum super soldier (dan tidak ingin juga sih).
Jadi dia tidak punya kekuatan super apa-apa. Kekuatan supernya ya dari latihan fisik intensif, dari bantuan teknologi dan peralatan canggih lainnya, dari skill serta kemampuan dirinya, serta tentu saja dari keberanian dan kebaikan hatinya, eaaa. Itulah superpower-nya, nothing else.
Plus walaupun superhero, Sam juga tidak mendapatkan privilege apa-apa dalam hidupnya. Mau kredit di bank aja ditolak mentah-mentah sama bank-bank karena dianggap bukan calon kreditur yang “menguntungkan”, can relate banget lah ya kita-kita rakyat jelata ini, hahaha.
Mana ketika dia berdebat sama Bucky di jalan, polisi langsung datang dan langsung menuduh dia melakukan kejahatan, hanya karena dia kaum minoritas. Sedih ya, tapi kenyataan hidup kita hingga saat ini kan memang seperti itu, disekat oleh power or no power, privilege or no privilege.
Belum lagi, tidak ada villain di serial ini, yang ada yang hanya perbedaan kepentingan saja. Semua pihak memiliki motivasi dalam melakukan aksi dan tindakannya yang menurut mereka itu benar dan membawa manfaat serta kebaikan bagi banyak orang, serta memberikan masa depan yang lebih baik untuk kemanusiaan. Jadi memang kita sudah tidak bicara tujuan di sini, tapi bicara cara-cara. Kalau tujuan mah ya, semuanya tujuannya baik. Caranya yang harus dilihat dulu. So real ya.
Justru karena itulah aku suka banget serial ini, dan aku salut banget sama Kari Skogland, sang ibu sutradara atas hasil kerja kerasnya yang brillian. Karena memang, what is so wrong to become a human? Nothing!
Fitri Indra Harjanti
- MS. MARVEL SERIES: SUPERHERO MUSLIM PERTAMA DI MARVEL CINEMATIC UNIVERSE (SPOILER ALERT) - Juli 16, 2022
- UNDER THE BANNER OF HEAVEN: KETIKA TUHAN DIJADIKAN ALASAN UNTUK MENGHABISI NYAWA SESAMA MANUSIA (MAJOR SPOILER ALERT) - Juni 5, 2022
- KKN DI DESA PENARI: KISAH YANG CUKUP FAMILIAR KITA DENGAR DI SEKITAR KITA - Mei 27, 2022