Tidak Hanya Perekonomian, Shifting Terjadi Pula Pada Kehidupan Manusia Ke Dunia Virtual
“Loncat… loncat…” diserukan salah seorang perempuan dengan gawai yang ia arahkan ke atap Transmart Mall Lampung saat kejadian itu. Di atas atap, seorang laki-laki muda berdiri di tepi atap setinggi 40 meter sedang mempertimbangkan keputusannya untuk melompat atau tidak. Dia Tyas Sancana Ramadhan, mahasiswa salah satu kampus di Lampung.
Kita tentu sempat mendengar hingar-bingar disruption revolusi industri 4.0 yang menyebabkan shifting perilaku produsen maupun konsumen, yang menyebabkan runtuhnya brand-brand besar pada pasar barang maupun jasa. Namun, berbeda dengan shifting pada perekonomian yang menekankan pada kolaborasi berbagai platform menuju pemerataan, shifting pada sosial masyarakat memberi dampak yang ngeri. Sebut saja bystander effect (difusi tanggung jawab) yang merupakan simbol matinya kemanusiaan, suatu fenomena ketika seorang saksi enggan membantu korban dan mengandalkan saksi lainnya yang kebetulan menyaksikan peristiwa tersebut hingga akhirnya tidak ada yang bergerak satu pun (Darley & Latane, 1968).
Istilah efek bystander berawal dari kasus Kitty Genovese yang meninggal akibat ketidakpedulian 37 tetangga apartemennya pada tahun 1964. Laporan New York Times menyebutkan Kitty ditikam berkali-kali dan diperkosa oleh seorang pria bernama Moseley. Kejadian itu berlangsung selama lebih dari 30 menit dan dalam rentang peristiwa itu tersangka bahkan sempat pergi selama 10 menit dan kembali lagi untuk melakukan penikaman karena tidak ada seorang pun yang menolong Kitty. Meskipun Kitty sempat berteriak-teriak, namun tidak ada satupun dari 37 tetangganya yang memanggil polisi.
Putus Cinta?
Apakah putus cinta sungguh-sungguh menjadi faktor tunggal penyebab keputusan Tyas untuk bunuh diri?
Kita kembali ke kasus Tyas. Pada dasarnya kebutuhan terbesar manusia adalah “didengarkan dan diterima sebagaimana adanya”. Tidak ada ketakutan terbesar umat manusia—baik warga dunia virtual maupun dunia nyata—daripada merasa ditinggalkan dan sendirian.
Kalau kita cermati hukum sebab-akibat, kita dapat melihat bahwa segala sesuatu merupakan proses yang terjadi dalam jangka panjang dan terus-menerus. Teringat kisah lain, salah seorang siswa SMA yang menikmati membacok pengendara sepeda motor secara acak di jalan sebagai komitmen persaudaraan dalam geng klithih. Karena hanya geng klithih itulah yang memenuhi kebutuhannya untuk “diterima”. Ketika ditelusuri, ternyata siswa SMA itu memiliki pengalaman merasa ditolak bahkan sejak dalam kandungan. Tidak diinginkan oleh ibu dan ayahnya, dan bahkan sempat akan diaborsi. Orangtuanya merasa terpaksa untuk hidup bersama dalam pernikahan sebab ia sudah terlanjur dikandung sehingga mereka terpaksa “menutupi aib” dengan menikah. Sejak kecil ia melihat pertengkaran kedua orangtuanya, perselingkuhan baik ayah maupun ibunya, serta ketiadaan kehadiran siapapun dalam hidupnya yang menerimanya apa adanya. Hidupnya begitu sepi, gersang, dan kosong. Perbuatan pembacokan yang dia lakukan adalah fenomena gunung es atau akibat dari setiap peristiwa tertolak yang dia rasakan sejak dalam kandungan tersebut.
Alex Lickermen penulis buku THE TEN WORLDS: The New Psychology of Happiness (HCI) mengatakan bahwa orang dengan sejarah korban kekerasan fisik, emosional, atau seksual paling mungkin untuk mengalami depresi berkepanjangan dan berakhir bunuh diri.
Sehingga dalam kasus Tyas yang ingin bunuh diri dengan melompat dari atap mall, tidak kemudian serta-merta kita bisa menyudutkan mantan pacar Tyas atas keputusan nekat yang dibuatnya tersebut. Kalau hanya itu, saya kira kita akan melewatkan faktor yang sangat sentral yaitu psikologis-emosional Tyas. Sehingga apabila kita menelan bulat-bulat hipotesis itu, mungkin kita memiliki problem pada inferensi (penarikan kesimpulan) akibat eror yang besar atau faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi keputusan Tyas selain “putus cinta”.
Tanggapan Netijen yangBudiman
Masalah yang lebih serius adalah sepersekian detik sebelum melompat, sebenarnya ada pihak yang bisa mengubah keputusan Tyas yaitu netijen yang budiman. Pada sepersekian detik itu terjadi tegangan-tegangan dalam batinnya yaitu dorongan untuk melompat dan dorongan untuk mundur. Pada masa krusial itu bisa saja terjadi perubahan apabila netijen berteriak, “berhenti… berhenti…” atau “mundur… mundur…” dibandingkan dengan meyakinkannya untuk melompat dengan berteriak “loncat… loncat…”. Karena dalam kondisi demikian, ada problematika lain yang dihadapinya yaitu “takut malu” apabila tidak jadi melompat.
Alih-alih melakukan berbagai upaya penyelamatan darurat, netijen malah mendukungnya untuk bunuh diri sambil menyerukan dorongan-dorongan untuk melompat. Bukankah kita jadi termasuk penyebab Tyas bunuh diri? Atau dengan kata lain, kita membunuhnya dan mengambil keuntungan dari kengerian yang sedang dihadapinya. Supaya kita bisa terkenal bagi warga negara virtual kita, syukur-syukur bisa meraup profit dari ketenaran hasil rekaman dan menambah subscriber Youtube.
Tanggapan yang demikian juga dialami oleh salah satu korban kecelakaan di Tanjakan Emen (BBC, 2018). Karmila—anggota Koperasi Simpan Pinjam (KSP)—sedang berjuang antara hidup dan mati ketika salah seorang netijen mengambil gawai dan dengan telaten merekam detik demi detik upayanya berjuang untuk keluar dari bus yang terguling di jurang yang curam. Saya merasa ada energi yang membuncah dari dalam diri si netijen tersebut akan kemungkinan terkenal di kemudian hari akibat videonya viral. Saya tidak bisa membayangkan trauma yang akan dialami korban terhadap manusia. Ditambah lagi, ketika korban berupaya meminjam gawai netijen untuk menghubungi keluarganya, dengan acuh netijen menolak enggan.
Pihak Mall
Kembali lagi ke kasus Tyas, meskipun ada upaya pihak mall untuk menyelamatkannya, namun mereka juga mengakui bahwa akses menuju atap mall tidak diawasi. Fatalnya, pihak mall maupun netijen kurang tanggap melakukan upaya penyelamatan darurat seperti misalnya sesederhana mengambil matras atau selimut untuk meyakinkan Tyas bahwa dia diinginkan untuk selamat. Saya memang tidak menjamin hal itu akan berhasil, namun setidaknya meskipun hal terburuk terjadi, dia akan sempat merasakan upaya ungkapan kasih dari manusia di bumi.
Fenomena “wisata bencana” pun berubah menjadi habbit dengan kebiasaan mengabadikan kesulitan sesama dibanding meresponnya dengan aksi menolong. Atau mungkin memang manusia Indonesia memiliki kadar respon lebih cepat untuk mengabadikan suatu kejadian dikarenakan durasi menggunakan gawai harian meningkat secara signifikan hari demi hari. Fenomena shifting kehidupan memang nyata di dunia maya.
Rosinta Purba
Catatan dgn pesan yg baik.. terus menulis.. aku akan jadi salah satu pembaca yg menunggu tulisan2 Sinta berikutnya ?