Toxic Positivity: Kalimat Positif yang Kadang Bikin Sensitif

Alih-alih memberikan semangat, ucapan “jangan menyerah” atau “just be happy” bagi sebagian orang justru terasa menyengat dan membuat semakin penat. Hal inilah yang disebut dengan toxic positivity, yaitu istilah yang mengacu pada situasi ketika seseorang secara terus menerus mendorong koleganya yang sedang tertimpa kemalangan untuk melihat sisi baik kehidupan, tanpa pertimbangan akan pengalaman yang dirasakan, atau tanpa memberi kesempatan untuk meluapkan perasaannya.

Lebih lanjut, riset Wood (2009) dalam jurnal Psychological Science menyebutkan bahwa ujaran positif ternyata justru berdampak negatif pada responden yang berpenilaian diri rendah. Hal ini dikarenakan tidak semua orang butuh disemangati saat mereka bercerita soal perasaan negatif atau pengalaman buruk yang mereka alami. Dalam relasi pertemanan antar-perempuan, kalimat positif seperti “kamu itu masih muda Jeng, belum punya anak, belum punya suami, kamu pasti bisa mengerjakan tugas itu tepat waktu”, atau “jangan menyerah Buk, kita ini harus pandai bersyukur, masih ada yang lebih parah kehidupannya dari sampeyan”, tentulah membuat sebagian perempuan justru jadi baper. Terasa menusuk dan menohok sekali. Para perempuan pada kelompok ini, justru akan merasakan kecenderungan untuk menyalahkan diri sendiri karena tidak sesuai ekspektasi masyarakat, dan menambah perasaan negatif dalam dirinya.

Berpikir positif ternyata tidak sesederhana itu ya? Mengatakan “semua akan baik-baik saja” atau “tetap semangat ya” bagi seseorang yang sedang berada dalam keadaan kalut dan galau belum tentu selalu membantu bahkan mungkin bisa dianggap meremehkan, sehingga malah jadi sakit hati pada orang yang menyampaikan. Lalu, alternatif lain untuk mengatakan “never give up” atau “be positive” sebaiknya bagaimana? Coba perhatikan kalimat berikut ini:

Validation & Hope Toxic Positivity
“Ini berat sih, tapi kamu pernah mengalami hal yang lebih berat daripada ini. Aku percaya padamu.” “Kamu pasti bisa mengatasinya.”
“Wajar saja sih kalau kamu berpikir negatif pada situasi ini.” “Berhentilah berpikir negatif!”
“Kadang kita memang perlu menyerah pada keadaan seperti ini. Terus menurutmu, bagaimana kita mengatasinya?” “Jangan menyerah!”
“Tidak apa jika memang kamu ingin menangis, menangis saja, biar lega.” “Sudah dong, jangan cengeng, bangkit dan hadapi dunia!”

Dan banyak kata-kata lainnya yang menunjukkan bahwa kita berempati terhadap permasalahan kawan kita. Jadi, bukan melulu kata-kata positif, segudang nasehat, dan berbagai solusi yang diharapkan dari seseorang. Kadang mereka hanya ingin didengar saja, tanpa ingin dihakimi. Mereka hanya perlu seseorang untuk bisa diajak “gendu-gendu rasa” (istilah “Banyumas”-nya) alias curhat. Kadang kalau menghadapi kesulitan tertentu, kita tidak sadar sering jadi ingin “sambat”. Tapi bagi saya, sambat hanyalah untuk orang yang lemah, orang kuat lebih suka misuh, dan orang yang berpikir akan lebih senang istighfar.

NB: Daripada lagunya D-Massiv “Jangan Menyerah”, terkadang lagunya Bondan Prakoso “Ya Sudahlah” lebih enak didengar, hehehe.

Sumber: https://tirto.id/toxic-positivity-saat-ucapan-penyemangat-malah-terasa-menyengat-dhLM

Tenia Wahyuningrum

Tenia Wahyuningrum
Bagikan:

Tenia Wahyuningrum

The mother of three, Ph.D Candidate, Lecturer, Researcher Sangat antusias pada dunia anak, tulis menulis dan IT. Suka bernyanyi, membaca buku, dan nyetatus receh. Tinggal di kaki gunung slamet yang sejuk bersama 3 anak, suami, kucing entah siapa yang sering melahirkan di dalam lemari pakaian, dan para tetangga yang ramah. Jika Anda kebetulan berada di tempat seminar atau workshop dan menemukan dia di sana, sudah dipastikan itu karena seminar atau workshopnya free alias gratis, sebab dia suka sekali yang gratisan. #okesip

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *