WE DECIDE TO GROW AND BEING OLD TOGETHER
Banyak yang bilang bahwa dengan menikah, maka hidupmu akan berubah. Hal tersebut tidak sepenuhnya salah, karena ketika sudah menikah, memang akan ada bagian dari diri kita yang berubah dan harus menyesuaikan diri, meskipun itu tidak berarti akan mengubah diri kita menjadi orang lain dengan kehilangan jati diri. Bagi para pemuja kebebasan dan kemandirian (seperti saya), di masa muda dulu, sungguh tidak terbayang bahwa saya akan menikah muda, punya anak, dan mengabdikan hidup sepenuhnya pada keluarga (seperti yang diterima oleh masyarakat pada umumnya, terutama jika kita adalah perempuan yang sejak kecil sudah “dididik” oleh masyarakat untuk menjadi pengabdi keluarga, melayani suami, mendidik anak-anak, dan mempersiapkan mereka menjadi generasi yang hebat dengan teladan seorang ibu, istri, dan perempuan).
Apa yang saya bayangkan dahulu tentang masa depan adalah bahwa saya akan bekerja, pursuing my career and my passions, berpuas diri dengan pencapaian hidup, dan baru akan memikirkan untuk berkeluarga serta beranak pinak. Apapun nanti ujungnya, jika suatu saat nanti I reach my point di mana saya “akhirnya” memutuskan untuk mengambil jalan pengabdian pada keluarga (dalam artian yang konvensional), at least saya sudah mencoba hal-hal yang ingin saya coba dan memperoleh achievement yang akan membuat saya tenang seumur hidup (harapannya).
Saya menikah di usia 26 tahun, setelah sekitar 8 tahun berpacaran. 5 tahun pertama pernikahan kami lalui dengan LDR, karena kami bekerja di kota yang berbeda. Selama 5 tahun itu pula kami menjalani kehidupan PJKA, alias pulang Jumat kembali Ahad, alias hanya bertemu di saat weekend ataupun hari libur. Ketika itu saya masih menikmati karir dan kehidupan saya di Jakarta. Sebuah kehidupan yang sebenarnya saya impikan karena pekerjaan saya waktu itu menuntut mobilitas yang tinggi. Dinas luar kota yang dilakukan hampir tiap minggu, berkeliling Indonesia sampai ke pelosok rimba raya, serta pekerjaan yang dinamis dan penuh ritme yang “sungguh sangat saya”.
Sementara itu, suami saya masih menikmati pekerjaannya di Jogja yang lebih “slow” yang juga “sungguh sangat dia”, dan masing-masing dari kami juga sadar bahwa Jakarta bukanlah habitat yang cocok untuknya—pun saya juga masih menikmati rutinitas ibukota yang seperti memberi energi baru untuk saya. Waktu itu, banyak orang yang berkomentar, kenapa kami tidak mengambil jalan yang paling mudah saja—entah saya pindah Jogja atau suami hijrah ke Jakarta. But again, it’s not just a matter of siapa yang harus mengalah.
Keadaan menjadi sedikit berbeda ketika akhirnya kami memiliki anak. Dengan kehadiran seorang anak, sepertinya agak tidak mungkin kalau kami tetap menjalani pola hubungan saling berjauhan seperti ini, mengingat bahwa kami juga tidak punya kerabat atau siapapun yang bisa dimintai tolong untuk mengasuh anak selama kami bekerja. Akhirnya, sebuah keputusan besar harus kami buat, saya pindah ke Jogja, I gave up Jakarta, dengan alasan keluarga (so classic, but that is so damn true!).
Awal kelahiran anak, kami masih dibantu oleh orangtua untuk mengasuh dan menjaganya. Pun juga saat saya harus pergi lagi selama dua tahun untuk melanjutkan kuliah, kami sangat terbantu dalam mengasuh anak, karena saat itu suami masih harus bekerja, dan anak kami titipkan ke orangtua di Magelang. Dua hari sekali suami saya pulang ke rumah orangtua saya untuk menengok anak kami, dan life seems so under control waktu itu.
Kondisi kami menjadi agak berubah ketika kemudian saya menyelesaikan studi, dan hal-hal besar terjadi dalam hidup kami. Kembali ke realitas kehidupan kantor, pekerjaan, dan urusan rumah tangga. Saat itu rasanya kami benar-benar memulai babak baru yang “sesungguhnya” dalam kehidupan perkawinan kami yang dulu lebih terasa seperti pacaran saja. Saat itu anak kami masih ikut orangtua di Magelang, dan kami setiap hari pergi–pulang Magelang–Jogja, berangkat pagi ke kantor, mengurus rumah Jogja, untuk kemudian sore/malamnya pulang lagi ke Magelang. Sungguh rutinitas yang melelahkan dan serasa hanya menyisakan capek di penghujung hari pokoknya.
Mengingat kerepotan-kerepotan tersebut, setelah beberapa diskusi, akhirnya anak kami boyong ke Jogja. Tentunya juga kami tidak bisa selamanya menitipkan anak ke orangtua, karena biar bagaimanapun kami punya cita-cita untuk membangun kehidupan “normal”, dan menjalankan fungsi sebagai orangtua secara “normal” dan sepenuhnya. Akhirnya, setelah sekitar 9 tahun menikah, kami benar-benar merasakan bagaimana kehidupan berkeluarga secara “normal” itu.
Bagi kami yang sudah terbiasa LDR, total 7 tahun, ditambah dengan kehadiran anak terus terang saja menjadi pengalaman baru yang butuh penyesuaian sangat besar untuk banyak hal. Awal-awal memboyong anak kami ke Jogja, things seem always wrong, kami kesulitan untuk menyesuaikan gaya hidup “married with distance relationship” menjadi “married with kid”. Yang jelas berbeda, no more hang out till morning, harus selalu prepare sarapan, makan siang dan cemilan sehat (yang mana dulu selalu mengandalkan warung makan atau eating out) yang berarti juga harus bangun lebih pagi (dan tidur cepat tentunya—ini tentu nggak mudah untuk manusia-manusia tipe night shift seperti kami).
Keadaan menjadi semakin sulit ketika akhirnya anak masuk sekolah, dan di saat yang bersamaan kami harus merawat adik saya yang sakit dan ibu suami saya yang juga sakit, sehingga harus bolak-balik Magelang–Jogja hampir setiap hari (again). Things are getting crazier saat kemudian ternyata pindah kantor ke Jogja itu tidak se-slow yang saya kira (memang load pekerjaan sedikit berkurang, tapi tetap saja pekerjaan kantor saya banyak menyita waktu, tenaga, dan emosi). Keadaan ini tentunya juga mempengaruhi hubungan rumah tangga kami yang biasanya ayem-ayem saja menjadi kind of chaos, sampai kemudian akhirnya dengan gagah berani kami mendiskusikan apa yang sedang kami hadapi.
Tidak mungkin kalau kami berdua sama-sama sibuk di luar rumah, sementara segala hal yang sedang kami hadapi benar-benar menyita emosi, tenaga, dan waktu. Setelah pertimbangan sana-sini dan menghitung pro-kontra yang mungkin akan dihadapi, akhirnya suami memutuskan bahwa dia yang akan mengurangi frekuensi pekerjaannya sehingga lebih punya waktu untuk mengurus anak serta keluarga.
Sebenarnya ini bukan keputusan yang mudah buat kami berdua, karena ini bukan hanya sekadar siapa kepala keluarga dan siapa yang bertanggung jawab “menafkahi” (finansial) yang utama (seperti yang sering didoktrinkan oleh pola-pola tradisional pernikahan). Bagi kami, ini lebih kepada bagaimana kami berkompromi dengan ego dan ambisi masing-masing untuk menunjukkan eksistensi (dengan berkarya), dan masing-masing dari kami memiliki kebutuhan yang sama untuk menunjukkan eksistensi tersebut.
Mungkin sebagian besar orang akan berpikir bahwa jalan paling praktis yang bisa ditempuh adalah dengan mencari pengasuh anak atau pengurus rumah tangga (we did it occasionally), tapi there’s something in our family’s value yang just can’t do it. Hiring a nanny atau a house-maid is not really our thing, karena, well, it’s silly, tapi kami merasa perlu memberikan personal touch untuk rumah maupun pengasuhan anak. It’s kind of our responsibilities, dan hiring people untuk melakukan itu (secara permanen) sepertinya nggak terlalu fit in dengan apa yang kami yakini (people have to clean their own shit, right?)
Apa yang mendasari keputusan kami waktu itu sebenarnya lebih ke arah pertimbangan rasional semata. Saat itu, bisnis suami saya di bidang percetakan juga sedang tidak terlalu bagus, sementara pekerjaan kantor saya menuntut mobilitas tinggi dan banyak menyita perhatian. Secara praktis, sepertinya memang lebih memungkinkan kalau suami saya yang mengurangi frekuensi pekerjaannya agar tetap bisa meng-handle urusan anak dan keluarga. Sementara saya yang memiliki pekerjaan tetap terus melanjutkan pekerjaan saya.
Tentunya hal ini kami ambil berdasarkan consent bersama, dengan segala konsekuensi yang kami sadari bersama juga. Dalam perspektif kami, siapa yang pada saat itu punya kesempatan lebih di luar, maka silakan saja mengoptimalkan perannya di luar, dan itu tidak pula berarti bahwa berkarir secara formal semata lebih bagus daripada yang memiliki karir informal. Dan lagipula, kesuksesan apapun yang diraih oleh salah satu dari kami tidak akan terwujud tanpa bantuan ataupun dukungan penuh dari pasangan, apapun yang kami pilih nantinya. It’s all equal!
Apakah hal tersebut mudah dilalui? Saya akan mengatakan bahwa saat ini, hal ini adalah keputusan yang tepat untuk kami, meskipun pastinya ada banyak pasang surut yang kami lewati. Dengan karir informal suami saat ini, mungkin saja secara finansial akan lebih pasang surut (terutama di musim pandemi seperti sekarang), tapi pilihan tersebut memberikan keleluasaan bagi kami untuk membagi perhatian antara anak, keluarga, orangtua, serta hubungan kami sendiri (rasa cinta kan harus di-maintenance ya).
Pun bagi saya yang saat ini menempuh jalur karir formal dengan konsekuensi waktu saya akan lebih terikat dan lebih tidak fleksibel. Dukungan penuh dari suami pastinya juga merupakan kunci yang penting untuk membuat saya merasa feel connected dengan apa yang saya miliki, keluarga, teman-teman, dan yang terpenting adalah hidup saya.
Tantangan terbesar sebenarnya justru datang dari keluarga besar dan masyarakat yang tidak terbiasa melihat perempuan (atau ibu/istri) sibuk di luar sementara suami lebih banyak di rumah. Orang akan dengan mudah berkomentar, “perempuan kok sibuk dengan karier dan pekerjaan”, atau “tugas seorang ibu kan ngopeni anak dan suami”, atau “kasihan sekali si istri, harus bekerja keras membanting tulang”—atau begitulah kira-kira. Padahal, hey, bukankah setiap pasangan, baik suami maupun istri, baik ayah maupun ibu, memiliki tanggung jawab yang sama dalam tugas rumah tangga?
Sebenarnya tidak masalah juga bagi kami—suami saya yang introvert dan sangat rumahan itu lebih merasa nyaman dengan bekerja dari rumah yang tidak perlu sering-sering bertemu orang lain, serta memiliki waktu yang lebih fleksibel untuk mengurusi keluarga, anak, dan kucing-kucing kami. Sementara saya, yang pada dasarnya sangat aktif dan membutuhkan sinar matahari lebih tiap harinya (alias manusia outdoor), wajar jika kemudian saya merasa lebih nyaman untuk bekerja formal yang memang butuh untuk keluar from 8 to 5 dan meet the world.
Kalau toh misal masih ada yang menanggapi nyinyir dengan pengaturan rumah tangga kami, well, we have stopped explain ourself ke orang lain sejak lama sekali. Toh yang paling tahu apa yang sesuai ataupun tidak sesuai untuk kami adalah diri kami sendiri kan, kenapa harus buang-buang waktu menjelaskan diri kita ke orang lain? Dan lagipula, kami merasa bahwa pemahaman kami terhadap bagaimana berumah tangga beyond any traditional pattern yang sudah mengkotak-kotakkan peran masing-masing dengan suami mencari makan istri mengurus rumah.
Lalu bagaimana dengan pembagian pekerjaan rumah tangga? Sekali lagi, saya akan mengatakan bahwa it’s all equal. Bukan berarti karena suami memiliki lebih banyak waktu senggang maka semua pekerjaan rumah tangga ada padanya. Kami tetap membagi pekerjaan rumah tangga berdasarkan peminatan (I would say that karena literally kami memang melakukannya). Misalnya saja, karena saya suka mengepel dan bersih-bersih lantai, maka tanggung jawab menyapu, mengepel, dan sejenisnya ada di saya. Sementara suami lebih memilih untuk mencuci piring dan baju. Urusan masak memasak juga masih menjadi tanggung jawab saya, practically karena saya lebih bisa memasak dibandingkan suami. Tidak harus saklek seperti itu tentunya, kami masih menganut asas fleksibilitas.
Beberapa rules lagi yang kami pegang bersama adalah Sabtu–Minggu adalah waktu bagi suami untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan dia yang tertunda, karena saat itu saya tidak ke kantor dan bisa menghabiskan waktu bersama anak saya. Ini tidak berarti bahwa setiap Sabtu–Minggu suami saya akan sibuk bekerja sih. Hanya di saat-saat tertentu saja ketika ada tunggakan atau ada hal-hal yang harus diselesaikan, maka it’s his time to clean the shits. Dan juga tentunya di hari-hari tertentu ketika dia harus menyelesaikan sesuatu, atau butuh keluar kota, saya sebisa mungkin siap menggantikan keberadaan dan tugasnya.
It’s all about flexibility aja sih kalau menurut saya. Dan dengan pengalaman LDR bertahun-tahun (bahkan sejak masih pacaran), kami jadi terbiasa untuk mandiri dan tidak tergantung pada pasangan. Pasangan kan bukan pembantu, pelayan atau rewang yang harus melayani atau menyenang-nyenangkan kita ya, tapi mereka adalah partner, teman hidup, sahabat, teman seperjuangan. Apapun yang kita capai saat ini tidak akan terjadi tanpa dukungan dari pasangan, dan kesuksesan apapun yang kita peroleh saat ini adalah kesuksesan pasangan dan keluarga kita juga. We are nothing without them, right?
Tidak pernah ada panduan yang tepat mengenai bagaimana menjadi suami yang baik, atau bagaimana menjadi istri yang baik, atau orangtua yang baik. Mungkin kita bisa menemukan banyak tips dan trik untuk menjadi istri sempurna, atau orangtua sempurna di majalah ataupun buku panduan pernikahan (dan sebenarnya kita juga bisa menebak bagaimana isinya).
Apa yang orang-orang tulis mengenai how to-how to itu nothing wrong sebenarnya, meskipun pertanyaan selanjutnya adalah does it fit in with my type/his type/our type? Does it work in our relationship? Well, jawabannya sebenarnya ada pada masing-masing pasangan sih —hanya diri kita yang dapat menjawabnya. Tapi, belajar dari pengalaman kami yang pasang surut, satu hal yang saya syukuri dari hubungan kami adalah that we decide to grow together from our early relationship, dan bersepakat untuk menua bersama. Semoga kami bisa menua dengan bijaksana.
Sukmo Pinuji
- KEDAI KOPI LIMA - Maret 28, 2022
- WE DECIDE TO GROW AND BEING OLD TOGETHER - Maret 21, 2022
- Be Mindful and You Will See the Beauty of the World More! - Februari 7, 2020